Selasa, 12 Mei 2009

Lanjutan Laa Tahzan

Kedua
Lari dari orang-orang kafir saat istidl’af apakah ia itu wajib atau dianjurkan atau apa ?

Bila yang lalu telah jelas dan engkau mengetahui disyari’atkannya al firar ( lari ) dari kuffar ( orang-orang kafir ) saat kondisi istidl’af ( ketertindasan ) maka tinggallah saatnya engkau mengetahui hukumnya. Maka kami katakan dengan mohon taufik Allah :
Sesungguhnya ini kembali kepada kondisi orang yang mencari dan yang dicari. Bila yang dicari ( mathluh ) itu orang yang memiliki kedudukan atau keluarga besar atau kekuatan ( kelompok / jamaah ) dan ia mengetahui atau memiliki dugaan kuat bahwa ia tidak akan dihinakan atau terkena fitnah dengan sebab ia pergi mendatangi mereka, maka bolehlah hal itu baginya, bahkan bisa jadi dianjurkan jika mampu menampakkan diennya di tengah mereka dan ia memperdengarkan kepada mereka apa yang mereka tidak sukai berupa tauhid, celaan terhadap tuhan-tuhan mereka dan sembahan-sembahan mereka, serta bara’ah dari kebatilan dan syirkiyyat mereka.
Bila yang dicari itu orang yang lemah dan kuat dugaan padanya bahwa mereka akan menghinakannya atau menindasnya atau mereka memperdengarkan kepadanya dari kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang jelas suatu yang mana dia tidak kuasa untuk membantahnya bahkan bisa saja dia menampakkan pengakuannya terhadapnya dan keridlaannya dalam rangka taqiyyah setelah dia pergi menghampiri mereka dengan kedua kakinya dengan keinginan sendiri, maka seperti ini tidak halal baginya pergi kepada mereka dengan tanpa ikrah lagi tanpa diciduk selama-lamanya.
Karena itu adalah berjalan dan bergegas dengan kedua kaki menghampiri fitnah, sedangkan telah lalu larangan Nabi dari hal seperti itu dalam hadits-hadits yang lalu. Dan orang yang dicari dalam hal ini memiliki suri tauladan yang baik pada al anbiya dan ash-shalihin dan para pengikut mereka yang saleh yang lari menyelamatkan dien mereka dari kuffar.
Dan dalam hijrah kaum muhajirin pertama ke Habasyah ada pelajaran untuk hal ini. Karena telah hijrah kesana orang yang takut dan khawatir penindasan dan fitnah kaum musyrikin, dan adapun orang-orang terpandang seperti Abu Bakar, Umar dan yang lainnya maka sesungguhnya mereka tidak hijrah sehingga mereka diperintahkan hijrah ke Madinah.
Dan tidak boleh dikatakan bahwa orang yang dicari dalam keadaan ini adalah mukrah sehingga boleh baginya memenuhi panggilan dan pergi, dan dari sana ia memakai taqiyyah di hadapan mereka.
Sebagaimana yang terjadi pada banyak orang yang pergi menghadap auliya thoghut dengan keinginan mereka, tatkala mereka ditanya tentang kami dan tentang kajian kami, sebagian mereka berkata :”Andaikata kami tahu bahwa kajian Abu Muhammad mengganggu keamanan negara atau sesuatu yang seperti ini tentulah kami orang yang pertama kali melaporkannya,”sungguh ini adalah penampakkan muwalah terhadap mereka dan penampakan mu’adah ( sikap permusuhan ) terhadap orang yang mengganggu keamanan Negara kafir tanpa dharurat dan tanpa ikrah.
Bila orang itu berkata :..Kami saat mengatakan ini di hadapan mereka dan dalam kekuasaan mereka.
Maka kami katakan :…”Tapi kalian pergi dan masuk dengan diri kalian di hadapan mereka dan dalam kekuasaan mereka pada awalnya dalam keadaan ihktiyar ( keinginan sendiri ) tidak diciduk dan tidak dipaksa.
Oleh sebab itu alangkah serupanya keadaan mereka itu – yaitu orang yang manmpakkan kesejalanan dengan kuffar dan ridla yang nampak terhaap kekafiran dan kemusyrikan mereka terus dia beralasan dengan alasan taqiyyah dan ikrah padahal sebelum itu dia mampu untuk hijrah dan kabur – ( saya katakan alangkah serupanya mereka itu ) dengan keadaan orang yang masuk islam di Mekkah namun ia tidak hijrah dan tidak bergabung dengan Nabi saw ke Madinah karena mereka merasa berat dengan tempat tinggal, isteri atau tanah air, sehingga saat yaumal furqan yamal taqal jam’an ( perang badar ) mereka dipaksa ikut keluar untuk berperang oleh kaum musyrikin dan mereka dijadikannya di barisan terdepan, kemudian kaum muslimin bila sebagian mereka menembakkan panah-panahnya, maka panah itu mengenai salah seorang diantara diantara mereka, maka kaum muslimin berkata :..”Kita membunuh ikhwan kita” maka Allah tabaraka wa ta’ala menurunkan firman-Nya :

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri ( kepada mereka ) malikat bertanya :..”Dalam keadaan bagaimana kamu ini ? mereka menjawab :…Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri ( Mekkah ). Para malaikat berkata :…Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ? “orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam,dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,” ( An Nisa : 97 ).

Kenapa Allah ‘azza wa jalla tidak mengudzur mereka padahal mereka itu beralasan dengan istidl’af dan mereka dikeluarkan dalam barisan kaum musyrikin dengan kondisi ikrah ?!
Maka jawabannya :…”Karena mereka tidak dipaksa saat duduk di tengah mereka pada awal mulanya, bahkan mereka mampu untuk lari dan hijrah di awal dulu, kemudian tatkala mereka tsaqshir dalam hal itu maka mereka tidak diudzur dengan sebab penguasaan orang-orang musyrik atas diri mereka dan istidl’af mereka setelah itu, karena mereka itu sebab dalam istidl’af dan penguasaan kaum musyrikin itu.
Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah ibnu Muhammad ibnu Abdul Wahhab berkata dalam risalah “Hukmu Muwalati Ahlil Isyrak” yang terkenal dikalangan orang Nejed dengan nama “Ad-Dula-il” karena di dalamnya beliau menyebutkan lebih dari dua puluh dalil atas kekafiran orang-orang yang tawalli kepada Ahlusy Syirki, beliau berkata tentang ayat yang lalu : ( Bila ada yang berkata :…Kenapa ikrah untuk ikut keluar tidak menjadi udzur bagi orang-orang yang terbunuh di hari Badar ? jawabannya itu tidak menjadi udzur…karena mereka pada awalnya tidak di udzur saat muqim bersama kuffar, sehingga setelah itu mereka tidak diudzur dengan sebab ikrah, karena merekalah sebab dalam hal itu, dimana mereka muqim bersama bersama mereka dan meninggalkan hijrah) selesai.
Maka orang yang berakal hendaklah mengamati hal ini,dan memahaminya, serta hendaklah dia mengetahui bahwa ia bila mengetahui kelemahan dari dirinya dan bahwa ia tidak akan mampu menampakkan diennya di hadapan orang-orang kafir. Namun sebaliknya ia malah menampakkan tawalli kepada mereka dan ridla terhadap kekafiran, kemusyrikan dan kebatilan mereka, maka dalam keadaan seperti ini tidak halal baginya pergi kepada mereka saat mereka meminta dalam keadaan tidak dipaksa selamanya, kecuali mereka memaksanya sembari menangkapnya, kemudian bila mereka memaksanya setelah itu terhadap sesuatu dari kekafiran dengan paksaan yang syar’yi yang dikenal dikalangan ahlul ilmi dengan batasan dan syaratnya maka inilah yang diudzur . Adapun dia berjalan dan menghampiri fitnah dengan kedua kakinya kemudian dia diajak untuk masuk ke dalamny, terus diapun masuk kedalamnya secara ikhtiyar kemudian beralasan dengan ikrah, padahal di sana tidak ada ikrah, maka hati-hatilah orang seperti ini dari murka Allah, karena Allah tabaraka wa ta’ala setelah melarang muwalah terhadap orang-orang kafir kemudian mengecualikan orang yang jatuh di bawah ikrah terus dia melakukan taqiyyah dari ( kejahatan ) mereka, Dia tabaraka wa ta’ala berfirman :

“Dan Allah memperingatkan kamu terhadap ( siksa ) –Nya. Dan hanya kepada Allah kembali ( mu ),” ( Ali Imran : 28 ).

Kemudian bagi tujuan yang karenanya sang muwahhid dicari dalam hal ini dipertimbangkan pula. Tidak masuk akal bila saudara muwahhid diminta datang untuk hal sepele yang tidak ada penghinaan di dalamnya, tidak ada fitnah dan tidak ada mendengar kekafiran dia lari atau melawan atau hal serupa itu. Dan begitu juga andai ia diminta untuk memberikan kesaksian haq yang di dalamnya diajukan pengajuan kezaliman atau dengannya hak dikembalikan kepada pemiliknya sedang di sana tidak ada kehinaan dan keterjatuhan dalam kekafiran, maka sesungguhnya terkadang wajib hal itu atasnya dalam sebagian keadaan bila masalahnya berkaitan dengan dia sedang tidak ada saksi selain dia atau yang serupa itu. Jadi harus ada rincian dan mempertimbangkan masalah-masalah ini.
Dan begitu juga keadaan orang yang mencari ( Thalib ) dipertimbangkan juga dan bila pembicaraan kita tentang orang-orang kafir dan auliya mereka, maka sesungguhnya diantara kuffar ada orang yang dikenal bahwa ia itu tidak menyukai kezaliman, sebagaimana yang ada tentang sifat Najasyi sedang ia masih nasrani belum masuk islam, dan inilah yang mengundang sahabat tatkala mereka berada di negerinya dan datang dua utusan Quraisy Abdullah ibnu Abi Rabi’ah ibnu Mughirah dan Amru ibnu ‘Ash untuk mengembalikan mereka ke Mekkah, terus An Najasiy meminta mereka datang agar ia melihat keadaan mereka dan apakah ia menyerahkan mereka kepada Quraisy atau membiarkan mereka tinggal di negerinya.
Saya katakan :…Sesungguhnya dinatara hal yang mendorong sahabat untuk memenuhi panggilan An Najjasy dan mendatanginya dengan sikap rela padahal di sana banyak kelapangan dan kesempatan untuk melarikan diri adalah keberadaan mereka memiliki dugaan kuat bahwa ia ( Najjasy ) tidak akan mezalimi mereka. Dan silahkan rujuk dalam khabar mereka dan kisah mereka yang diriwayatkan Ummu Salamah isteri Nabi saw dan dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dengan sanad yang baik 1/201-5/290, dan di dalamnya ada ucapan ja’far ra tentang Quraisy, (…Tatkala mereka memaksa kami dan mendzalimi kami serta bersikap keras terhadap kami dan menghalangi kami dari agama kami maka kami keluar menuju negeri engkau, kami memilih engkau atas selain engkau dan kami menginginkan perlindunganmu dan kami mengharap untuk tidak didzalimi di sisimu wahai raja ).
Seandainya perbuatan mereka ini keliru atau kemungkaran, tentulah Nabi saw tidak mendiamkannya dan tidak mengakuinya, akan tetapi tentu beliau mengingkarinya, sedangkan telah ada dalam sifat beliau saw bahwa beliau itu “ memerintahkan mereka dengan hal yang ma’ruf dan melarang mereka dari hal munkar, beliau menghalalkan bagi mereka thayyibat dan mengharamkan atas mereka khabaits.
Bila hal ini telah jelas, kemudian bila orang yang dicari itu memiliki dugaan kuat bahwa orang kafir yang mencarinya tidak akan mendzaliminya atau memalingkan dari diennya, maka boleh bagi dia memenuhi panggilan dan pergi menghadap mereka karena takut atau khawatir dari pembesaran masalah. Dan hal seperti ini ada di banyak Negara yang mendengung-dengungkan kebebasan, HAM, Demokrasi, dan sistem-sistem kafir masa kini lainnya. Dan ini bukan dukungan atau tahakum kepada falsafah-falsafah, system-sistem dan pemikiran-pemikiran ini, akan tetapi mangambil faidah atau memanfa’atkan dari kondisi-kondisinya yang diterapkan dan ada secara paksa. Dan ini seperti memanfaatkan dari fanatic kesukuan atau marga bila para pengusungnya bangkit untuk membela muwahhid dari kiblah mereka sedangkan kabilah itu di atas kekafiran, maka hal seperti ini : yaitu keberadaan fanatic kesukuan jahiliyyah menolong saudaranya sedangkan kaum suku itu tidak membela aqidahnya tidaklah membahayakan si muwahhid dan tidak mencoreng ketauhidannya, atau dinilai dukungan terhadap jahiliyyah atau tahakum kepadanya !! dengan dalil bahwa Allah tabaraka wa ta’ala berfirman :

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu ,” ( Adh Duha : 6 ).

Yaitu melindungimu dari pamanmu yang kafir. Dan hal serupa adalah keluarga Syuaib yang melindunginya dari orang-orang kafir. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman seraya mengabarkan tentang musuh-musuh Nabi-Nya :
“Kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami,” ( Hud : 91 ).

Dan begitu juga wali Nabiyullah Shalih as yang mana orang-orang kafir khawatir terhadapnya :
“Mereka berkata : Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita sungguh-sungguh akan menyerangnnya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada warisnya ( bahwa ) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar,” ( An Naml : 49 ).

Keberadaan seseorang mengetahui atau memiliki dugaan kuat bahwa orang kafir yang mencarinya diikat dengan batasan undang-undang atau adab atau fanatisme atau kejahiliyyaan yang mencegahnya dari berbuat dzalim dan aniaya terhadapnya, maka hal ini adalah hal yang membolehkan dia untuk pergi menghadap kepadanya bila ia takut fitnah yang lebih besar atau pembengkakan masalah. Dan Allah ta’ala A’lam. Dan meminta pendapat serta istikharah dalam hal ini adalah terpuji.
Berbeda seandainya si muwahhid itu memiliki dugaan kuat bahwa orang kafir itu bakal menyiksanya bila ia datang kepadanya atau menahannya terus memenjarakannya dengan waktu yang lama atau selamanya maka ini adalah haram, karena ia melemparkan dirinya kepada kebinasaan sedangkan Allah ta’ala telah berfirman ‘Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian kepada kebinasaan atau besar dugannya bahwa ia bakal memfitnahnya maka sungguh telah lalu larangan dari menghampiri.
Dan begitu juga bila ia mengetahuui bahwa ia bakal didzalimi maka tidak boleh dia berangkat menuju orang yang mendzaliminya, kecuali bila ia takut kezaliman dan kemungkaran yang lebih besar.
Dan begitu juga bila ia mengetahui bahwa orang kafir itu akan memperdengarkan kepadanya kekafiran, kemusyrikan dan kebatilah, sedangkan si mathlub itu tidak akan mampu menolak dan membantahnya atau idharuddin, maka sungguh Allah tabaraka wa ta’ala telah mengharamkan duduk di sisi orang yang seperti ini keadaannya, maka bagaimana boleh berjalan menghampirinya dengan kedua kakinya secara ikhtiyar, Dia SWT berfirman :
”Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah di ingkari dan di perolok-olok ( oleh orang-orang kafir ), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya ( kalau kamu berbuat demikian ) tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahanam.’’( An-Nisa:140)
Maka dia tidak boleh berangkat dalam keadaan ikhtiyar untuk duduk di majlis orang yang keadaannya seperti ini, sedang dia telah mengetahui dari dirinya bahwa ia tidak mampu melakukan pengingkaran saat itu dan tidak bisa mufaraqah, berbeda halnya andaikata dia mengetahui dari dirinya bahwa ia mampu untuk mengingkari, menampakkan diennya dan keyakinannya, serta aman dari fitnah, pembunuhan dan yang lain yang serupa.
Ini tentang berangkat menghadap kepada orang kafir, adapun bila dia dikepung orang-orang kafir dari setiap sudut dan tidak ada peluang untuk melarikan diri, dan saudara muwahid tidak mengetahui apa yang akan mereka lakukan terhadapnya, maka dia boleh berijtihad sesuai dengan dugaan kuat dia, apa dia menerima ditawan bila dia memperkirakan bahwa ia bisa selamat atau dia melawan sampai selamat atau terbunuh, bila ia menduga atau meiliki dugaan kuat bahwa mereka itu bakal menipunya. Dan disyariatkannya hal ini ditunjukan oleh hadist Abu Hurairah tentang kasus sepuluh orang yang diutus oleh Rasulullah saw yaumarraji’ …kemudian mereka dikepung oleh dua ratus orang yang semuanya mengarahkan panah, kemudian para pengepung itu memberikan janji kepada mereka bahwa mereka tidak akan membunuh seorangpun dari mereka, maka diantara para sahabat ada yang tidak rela menerima jaminan orang kafir karena takut berkhianat terus mereka malah membunuhnya, dan diantara mereka ada yang menerima ditawan, kemudian mereka berkhianat setelah itu, dan diantara mereka itu, Khubaib ra dan dalam khabar itu ada kisah dia. Namun demikian tidak diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau menyalahkan salah seorang dari mereka dalam ijtihadnya karena kondisi adalah kondisi keterkepungan dan tidak ada peluang untuk kabur atau menang melawan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: