Sabtu, 23 Mei 2009

R i s a l a h
Inti Dakwah Para Nabi dan Rasul

PERTAMA :
Kufur Kepada Thaghut

Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Alah Subhanahu Wa Ta'ala sebagaimana yang Dia firmankan :
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul (mereka mengatakan kepada kaumnya): Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut” (An Nahl : 36)
Perintah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah adalah inti dari ajaran semua rasul dan pokok dari Islam. Dua hal ini adalah landasan utama diterimanya amal shalih, dan keduanyalah yang menentukan status seseorang apakah dia itu muslim atau musyrik, Allah ta'ala berfirman :
“Siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kokoh (laa ilaaha ilallaah)” (Al Baqarah : 256)
Bila seseorang beribadah shalat, zakat, shaum, haji dan sebagainya, akan tetapi dia tidak kufur terhadap thaghut maka dia itu bukan muslim dan amal ibadahnya tidak diterima.
Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah :
1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
2. Engkau meninggalkannya,
3. Engkau membencinya,
4. Engkau mengkafirkan pelakunya,
5. Dan engkau memusuhi para pelakunya.
Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya : “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja” (Al Mumtahanah : 4)

Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut :

I. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah.
Ibadah adalah hak khusus Allah, maka ketika dipalingkan kepada selain Allah, itu adalah syirik lagi bathil. Do’a adalah ibadah sebagaiman firmanNya ta’ala :
“Berdo’alah kepadaKu, tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menolak beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk nereka Jahannam dalam keadaan hina” (Al Mukmin : 60)
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam besabda : “Do’a itu adalah ibadah” Memohon kepada orang-orang yang sudah mati adalah diantara bentuk pemalingan ibadah do’a kepada selain Allah, dan itu harus diyakini bathil, sedang orang yang meyakini bahwa memohon kepada orang atau wali yang sudah mati adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali tersebut maka dia belum kufur terhadap thaghut.
Sembelihan adalah ibadah, dan bila dipalingkan kepada selain Allah maka hal tersebut adalah syirik lagi bathil, Allah ta’ala berfirman :
“Katakanlah, Sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagiNya” (Al An’am : 162-163)
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (tumbal)”. Sedangkan dalam kenyataan, orang yang membuat tumbal, baik berupa ayam atau kambing saat hendak membangun rumah, gedung, jembatan dsb, dia menganggap sebagai tradisi yang patut dilestarikan, maka orang ini tidak kufur terhadap thaghut.
Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah ibadah, sedangkan taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah syirik lagi bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu :
“Dan mereka menjadikan bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka : “Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami” (Al An’am : 136)
Jadi orang yang menganggap perbuatan sesajen sebagai tradisi yang mesti dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap thaghut.
Wewenang (menentukan/membuat) hukum/undang-undang/aturan adalah hak Allah. Penyandaran hukum kepada Allah adalah bentuk ibadah kepadaNya, sedangkan bila wewenang itu disandarkan kepada makhluk maka itu adalah syirik dan merupakan suatu bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Allah ta'ala berfirman :
“(Hak) hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepadaNya. Itulah dien yang lurus” (Yusuf : 40)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan menusia agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah, dan Allah namakan penyandaran hukum itu sebagai ibadah, sehingga apabila disandarkan kepada makhluk maka hal itu adalah perbuatan syirik, sebagaimana firmanNya :
“Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq. Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini adalah orang-orang musyrik” (Al An’am : 121)
Kita mengetahui dalam ajaran Islam bahwa sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan kepada wali-walinya, “Hai Muhammad, ada kambing mati dipagi hari, siapakan yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab, “Allah yang telah mematikannya” Mereka berkata, “Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tanganNya Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah” (HR. Hakim)
Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah, dan agar setuju dengan penyandaran hukum kepada mereka, maka Allah tegaskan, bahwa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan hal itu berarti mereka telah musyrik. dan dalam ayat lain Allah ta’ala berfirman :
“Mereka (orang-orang Nashrani) telahtelah menjadikan para Harb (ahli ilmu/ulama) dan para Rahib (ahli ibadah) sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah. Juga Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At Taubah : 31)
Dalam ayat ini Allah vonis orang-orang Nashrani sebagai berikut :
- Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib
- Mereka telah beribadah kepada selain Allah
- Mereka telah musyrik
Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut Allah vonis mereka sebagai Arbaab.
Didalam atsar yang hasan dari Ady Ibnu Hatim (dia asalnya Nashrani kemudian masuk Islam) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam membacakan ayat itu dihadapan Ady Ibnu Hatim, maka dia berkata : “Wahai Rasulullah, kami dahulu tidak pernah ibadah dan sujud kepada mereka (ahli ilmu dan para rahib)” maka Rasulullah berkata, “Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian ikut-ikutan menghalalkannya? Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya?” lalu Addiy Ibnu Hatim berkata, “Ya, betul” lalu Rasulullah berkata lagi, “Itulah bentuk peribadatan orang-orang Nashrani kepada mereka itu” (HR. At Tirmidzi)
Jadi orang Nashrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada ahli ilmu dan para rahib, meskipun itu menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Sedangkan pada masa sekarang, orang meyakinibahwa demokrasi adalah pilihan terbaik, atau minimal boleh menurut mereka. Padahal demokrasi berintikan pada penyandaran wewenang hukum kepada kedaulatan rakyat atau wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah syirik, maka orang tersebut tidak kufur terhadap thaghut dan dia itu belum muslim.
Allah ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan diatas :
“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain Dia adalah bathil” (Luqman : 30)
juga firmanNya ta'ala :
“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan sesungguhnya apa yang mereka seru selainNya adalah yang bathil” (Al Hajj : 62)

II. Engkau meninggalkannya
Meyakini perbuatan syirik itu adalah bathil belumlah cukup, namun harus disertai. Meninggalkan perbuatan syirik itu. Orang yang meyakini pembuatan tumbal/sesajen itu bathil, akan tetapi karena takut akan dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan hal tersebut maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Orang yang meyakini bahwa demokrasi itu syirik, tetapi dengan dalih ‘Maslahat Dakwah’ lalu ia masuk kedalam system demokrasi tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Seperti orang yang membuat partai-partai berlabel Islam dalam rangka ikut dalam ‘Pesta Demokrasi’
Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya : “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (Az Zukhruf : 26-27)
juga firmanNya ta’ala tentang Ibrahim as. :
“Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah” (Maryam : 48)
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda, “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan laa ilaaha ilallaah…” (Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan orang yang tidak meninggalkan syirik, maka dia itu tidak diangap syahadatnya, karena yang dia lakukan bertentangan dengan apa yang dia ucapkan, oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “dan siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah, namun disamping ibadah kepada Allah dia beribadah kepada yang lain juga, maka syahadatnya tidak dianggap meskipun dia shalat, shaum, zakat dan melakukan amalan Islam lainnya” (Ad Durar As Saniyyah : 1/323, Cet. Minhajut Ta’sis : 61).
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata : “Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya” (Ad Durar As Saniyyah : 2/545). Beliau juga berkata : “Siapa yang berbuat syirik, maka dia telah meninggalkan Tauhid” (Syarah Ashli Dienil Islam, Majmu’ah tauhid).
Orang berbuat syirik, dia tidak merealisasikan firmanNya : “Dan mereka itu tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh ketundukan kepadaNya” (Al Bayyinah : 5). Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut.
Al Imam Su’ud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata : “Orang yang memalingkan sedikit dari )ibadah) itu kepada selain Allah maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau orang fasik, dan sama saja maksudnya itu baik atau buruk” (Durar As Saniyyah: 9/270).
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad rahimahullah mengatakan : “Sesungguhnya pelafalan laa ilaaha ilallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya berupa komitmen terhadap tauhid, meninggalkan syirik, dan kufur kepada thaghut maka sesungguhnya hal itu (syahadat) tidak bermanfaat, atas ijma (para ulama)” (Kitab Taisir)
Syaikh Hamd Ibnu Atiq rahimahullah berkata : “Para ulama ijma, bahwa siapa yang memalingkan sesuatu dari dua macam do’a kepada selain Allah, maka dia telah musrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha ilallaah Muhammadurrasulullah, dia shalat, shaum dan mengaku muslim” (Ibthal At Tandid : 76).
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan bara’ah darinya”
Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, dia tidak kufur terhadap thaghut.

III. Engkau Membencinya
Orang yang meninggalkan perbuatan syirik akan tetapi dia tidak membencinya, maka dia belum kufur terhadap thaghut. Ini dikarenakan Allah mensyaratkan adanya kebencian terhadap syirik dalam merealisasikan tauhid kepadaNya. Allah ta’ala berfirman tentang Ibrahim as. :
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (Az Zukhruf : 26)
Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”
Kebencian terhadap syirik ini berbentuk realita, yaitu tidak hadir di majelis syirik saat syirik sedang berlangsung. Sebagai contoh : orang yang hadir ditempat membuat atau mengubur tumbal yang sedang dilakukan, maka dia itu sama dengan pelakunya. Allah ta'ala berfirman :
“Dan sungguh Dia telah menurunkan kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya kalian (bila duduk bersama mereka saat hal itu dilakukan), berarti sama (status) kalian dengan mereka” (An Nisa : 140)
Jadi orang yang duduk dalam majelis dimana kemusyrikan atau kekufuran sedang berlangsung atau sedang dilakukan atau dilontarkan (diucapkan) dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para pelaku kemusyrikan tersebut.
Seandainya kalau tidak dapat mengingkari dengan lisannya maka hal tersebut harus diingkari dengan hatinya yang berbentuk sikap meninggalkan majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan : “Saya ingkar dan benci dihati saja” sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majelis tersebut.
Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu 'anhu berijma atas kafirnya seluruh jama’ah mesjid di kota Kuffah saat salah seorang diantara mereka mengatakan : “Saya menilai apa yang dikatakan Musailamah itu bisa jadi benar” dan yang lain hadir di mesjid itu tanpa mengingkari ucapannya seraya pergi darinya. (Riwayat para penyusun As Sunan / Ash habus Sunan)
Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kufar, system kafir, dan thaghut berarti ia tidak kufur terhadap thaghut.

IV. Engkau Mengkafirkan Pelakunya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyak ayat, diantaranya :
“Dan orang-orang yang menjadikan sembahan-sembahan selain Allah, (mereka mengatakan) : “kami tidak beribadah kepada mereka, melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah memutuskan diantara mereka dihari kiamat dalam apa yang telah mereka perselisihkan, sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang yang dusta lagi sangat kafir” (Az Zumar : 3)
dan firmanNya ta’ala :
“Dan siapa yang menyeru ilaah yang lain bersama Allah yang tidak ada bukti dalil kuat buat itu baginya, maka perhitungannya hanyalah disisi Rabnya, sesungguhnya tidak beruntung orang-orang kafir itu” (Al Ghofir / Al Mukmin : 117)
Bila Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak mengkafirkan mereka berarti tidak membenarkan Allah. Dia Subhanahu Wa Ta'ala juga telah memerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, diantaranya adalah firmanNya :
“Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan dari jalanNya, katakanlah, “Nikmatilah kekafiranmu sebentar, sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka” (Az Zumar : 8)
Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, berarti dia menolak perintah Allah, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam besabda : “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha ilallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah atas Allah” (HR. Muslim)
Para imam dakwah najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, “dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah” maksud kalimat tersebut adalah : Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati (Durar As Saniyyah: 291)

Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut :
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir” (Risalah Nawaqidlul Islam)
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Seseorang tidak menjadi muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya” (Syarh Ashli Dienil Islam - Majmu’ah Tauhid)
Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Dan sebahagian ulama memandang bahwa hal ini (mengkafirkan pelaku syirik) dan jihad diatasnya adalah salah satu rukun yang mana Islam tidak tegak tanpanya” (Mishbahuzh Zhalam : 28). Beliau berkata lagi : [“Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan orang-orang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan) bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab (tuhan-tuhan) bersamaNya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh oleh orang yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya. Orang yan tidak mengagungkan perintahNya, tidak meniti jalanNya dan tidak mengagungkan Allah dan RasulNya dengan pengagungan yang sebenar-benarnya pengagungan terhadapNya, bahkan dia itu tidak menghargai kedudukan ulama dan para imam umat ini dengan selayaknya” (Mishbahuzh Zhalam :29)]
Para imam dakwah Nejd berkata : “Diantara hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah sikap tidak mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka karena sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur keIslaman. Siapa yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal darah dan hartanya serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para pelaku syirik” (Durar As Saniyyah: 9/291)
Mereka juga mengatakan : “Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, dia itu tidak membenarkan Al Qur’an, karena sesungguhnnya Al Qur’an telah mengkafirkan para plaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memerangi mereka” (Ad Durar As Saniyyah: 9/291)
Jadi, takfir (mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bagian Tauhid dan pondasi dien ini, bukan fitnah sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ulama suu’ (ulama jahat) kakitangan thaghut dan kalangan neo murji’ah. Orang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij, justeru mereka itu adalah penerus dakwah rasul-rasul. Orang yang menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak paham akan dakwah para rasul.
Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata : “Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar termasuk aqidah Khawarij maka sungguh dia telah mencela semua rasul dan umat ini. Dia tidak bisa membedakan antara Dien para rasul dengan madzhab Khawarij, dia telah mencampakan nash-nash Al Qur’an dan dia mengikuti selain jalan kaum muslimin” (Mishbahudz Dzalam : 72)
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau’ (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan (orang tertentu) maka minimal jatuh dalam bid’ah dan bila (sudah) di tegakan hujjah atasnya maka dia kafir juga.
Orang yang tidak mau mengkafirkan para pelaku syirik pada umumnya dia lebih loyal kepada pelaku syirik dan justru memusuhi para muwahhid yang mengkafirkan pelaku syirik. Demikianlah realita yang terjadi, sehingga banyak yang jatuh dalam kekafiran. Tidaklah sah shalat dibelakang orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik secara mu’ayyan.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “ Siapa yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku syirik akbar) atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka, atau mengklaim bahwa : ‘perbuatan mereka itu meskipun bathil tetapi tidak mengeluarkan mereka pada kekafiran’, maka status minimal orang yang membela-bela ini adalah fasiq, tidak diterima tulisannya, tidak pula kesaksiannya, serta tidak boleh shalat bermakmum dibelakangnya” (Ad Durar As Saniyyah : 10/53)
Ini adalah status minimal, adapun kebanyakan berstatus sebagaimana yang digambarkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah : [“Orang-orang yang merasa keberatan dengan masalah takfir, bila engkau mengamati mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka benci dan dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik dan munafikin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkrama dengannya. Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orang-orang yang pernah bersama kami di Diriyah dan Uyainah yang mana mereka murtad dan benci akan dien ini” (Ad Durar As Saniyyah : 10/92)]

V. Engkau Memusuhi Mereka
Orang yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepada thaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim as. Dan para nabi yang bersamanya :
“Dan tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja” (Al Mumtahanah : 4)
dan firmanNya ta’ala :
“Kalian tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan RasulNya, meskipun mereka itu ayah-ayahnya, anak-anaknya, saudara-saudaranya atau karib kerabatnya” (Al Mujadillah : 22)
Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan : [Sesungguhnya orang tidak tegak keIslamnnya walaupun ia mentauhidkan Allah dan meninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik…..”] (Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu’ah Tauhid : 21)
Permusuhan lainnya adalah loyalitas-loyalitas kepada orang kafir. Menafikan (meniadakan) keimanan/tauhid, Allah ta’ala berfirman :
“Dan siapa yang berloyalitas kepada mereka (orang-orang kafir) diantara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka” (Al Maidah : 51)
Karena permusuhan ini Allah ta’ala berfirman :
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu dimanapun kalian mendapati mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka ditempat pengintaian” (At Taubah : 5)

Semua ini adalah cara kufur kepada thaghut.

KEDUA : Iman Kepada Allah

Adapun makna ibadah kepada Allah adalah :
I. Engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya ilaah yang berhak diibadahi
II. Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah
III. Dan engkau menafikan ibadah itu dari selain Allah
IV. Engkau mencintai lagi loyal kepada orang yang bertauhid
V. Serta engkau membenci lagi memusuhi para pelaku syirik

Penjelasannya adalah sebagai berikut :

I. Engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya ilaah yang berhak diibadati
Orang yang membolehkan tumbal, sesajen, permohonan kepada orang yang sudah meninggal atau meyakini serta memegang system demokrasi berarti dia telah meyakini adanya ilaah yang lain bersama Allah, mereka tidak beriman kepada Allah. Orang yang menyerukan penegakan hukum thaghut atau menyerukan demokrasi, dia itu tidak beriman kepada Allah, begitu juga orang yang menyerukan hukum adat.
Orang yang bertauhid hanya meyakini satu sumber hukum, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Orang yang bertauhid hanya meyakini satu Dzat yang berhak diibadati. Allah ta'ala berfirman :
“Katakanlah ; “Dialah Allah Yang Maha Esa” (Al Ikhlas : 1)
dan firmanNya ta'ala :
“Janganlah engkau mengangkat dua tuhan, Dia itu hanyalah Tuhan Yang Maha Esa” (An Nahl : 51)
Sedangkan tuhan-tuhan para ‘Ubadul Qubur adalah banyak, yaitu orang-orang yang sudang mati yang mereka ajukan permohonan (permintaan) kepadanya. Dan adapun tuhan-tuhan para pengusung demokrasi adalah banyak pula, ada tuhan dari Partai A, Partai B, Partai C dan seterusnya. Para pembuat hukum itu adalah tuhan-tuhan mereka.

II. Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada allah.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala bukan memerintahkan ibadah kepadaNya, akan tetapi Dia memerintahkan supaya orang hanya ibadah kepadaNya, dan tidak mempersekutukan sesuatupun denganNya dalam ibadah-ibadah tersebut, sebagaimana firmanNya :
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali supaya mereka beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh Dien (ketundukan) hanya kepadaNya” (Al Bayyinah : 5)
juga firmanNya ta’ala :
“Dan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya sepenuhnya kepada Allah sedang dia itu muhsin (mengikuti tuntunan rasul), maka dia itu telah berpegang pada buhul tali yang sangat kokoh (tauhid/Islam)” (Luqman : 22)
Menyerahkan wajah sepenuhnya kepada Allah adalah dengan cara beribadah hanya kepada Allah, sebagaimana Dia ta’ala berfirman :
“Ya, siapa orangnya yang menyerahkan wajahnya sepenuhnya kepada Allah, sedang dia muhsin (berbuat kebaikan) maka bagi dia pahala disisi Tuhannya, tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka itu tidaklah bersedih” (Al Baqarah : 112)
Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata : “Ayat ini adalah bantahan terhadap ‘ubadul qubur yang menyeru selain Allah dan beristighatsah kepada selainNya, karena penyerahan wajah serta ihsan dalam beramal itu tidak pada diri mereka” (Minhaj At Ta’sis)
‘Ubadul qubur adalah orang-orang yang mengaku Islam, shalat, zakat, shaum, haji, dsb. Tetapi masih suka meminta kepada orang yang sudah mati, terutama orang shalih atau wali. Maka ‘ubadul qubur adalah kaum musyrikin.
Syaikh Ali Khudlair, di awal kitab Ath Thabaqat menyebutkan bahwa diantara golongan yang termasuk ‘ubadul qubur adalah : Para penguasa thaghut, para budaknya (aparat keamanan), para pengusung undang-undang buatan, kaum demokrat dan yang lainnya. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Hak Allah atas hamba-hambaNya adalah mereka beribadah kepadaNya dan mereka tidak menyekutukan sesuatupun denganNya” (hadits shahih dari Mu’adz)
Orang yang berbuat syirik, berarti dia telah melanggar hak Allah Jelasnya bahwa orang yang mengaku beriman pada rukun iman, rukun Islam dan dia beribadah kepada Alah, akan tetapi disamping itu dia membuat tumbal, sesajen, memohon kepada penghuni kubur atau ikut serta dalam demokrasi, maka mereka itu dianggap tidak beriman kepada Allah (dia bukan muslim). Syaikh Adurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : [Para ulama telah berijma, baik salaf maupun khalaf dari kalangan shahabat, tabi’in, para imam dan seluruh Ahlus Sunnah bahwa seseorang tidak dianggap muslim kecuali dengan cara (dia) mengosongkan diri dari syirik akbar, berlepas diri darinya dan dari pelakunya, membenci mereka, memusuhi mereka sesuai kekuatan dan kemampuan, serta memurnikan amalan seluruhnya bagi Allah” (Ad Durar As Saniyyah : 11/545)]
Perkataan seseorang, ”Saya beriman kepada Allah dan saya bukan musyrik” tidaklah bermanfaat bila ternyata realita syirik ada padanya, oleh sebab itu Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata : [Iman itu bukan angan-angan dan bukan dengan hiasan, akan tetapi ia adalah apa yang terpatri didalam hati dan dibenarkan dengan amalan]

III. Menafikan ibadah itu dari selain allah
Orang yang beriman kepada Allah tidak mungkin memalingkan satu macam ibadahpun kepada selain Allah, karena orang yang memalingkan satu saja ibadah kepada selain Allah, berarti telah meninggalkan Islam. Oleh sebab itu Allah ta’ala memerintahkan kepada nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada orang-orang kafir : “Aku tidak beribadah kepada apa yang kalian ibadahi” (Al Kafirun : 2).

IV. Engkau Mencintai Dan Loyal (Wala) Kepada Orang Yang Bertauhid
Orang yang beriman kepada Allah pasti mencintai dan loyal kepada orang yang bertauhid, karena mereka memiliki ikatan persaudaran diatas dien ini, Allah ta'ala berfirman :
"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (Al Hujurat : 10)
dan firmanNya dalam ayat yang lain :
“Orang-orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan sebahagiannya adalah penolong bagi sebahagian yang lain” (At Taubah : 71)
Oleh sebab itu tidak mungkin orang mukmin mendukung orang-orang kafir dalam rangka menghancurkan kaum muslimin karena itu bertentangan dengan wala (loyalitas) terhadap kaum muslimin.

V. Engkau membenci pelaku-pelaku syirik dan memusuhi mereka
Allah mengatakan tentang ucapan para rasul semuanya yang harus kita ikuti :
“Dan tampaklah antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sehingga kalian beriman kepada Allah saja…” (Al Mumtahanah : 4)
Orang yang tidak membenci dan tidak memusuhi pelaku syirik adalah orang yang tidak beriman kepada Allah.
Falsafah yang mengajarkan agar tidak membenci atau memusuhi ajaran agama lain adalah falsafah kafir. Sistem yang menyamakan semua ajaran agama adalah system syirik. Orang yang bertauhid pasti membenci dan memusuhi pelaku syirik meskipun ayah sendiri atau anak sendiri. Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : [Tidak tegak keIslaman sesorang meskipun dia tidak beribadah kecuali kepada Allah, kecuali dengan cara memusuhi para pelaku syirik]
Raihlah iman dengan cara memusuhi para pelaku syirik. Ini adalah penjelasan makna Iman kepada Allah.

Siapakah thaghut ?

Thaghut adalah segala yang dilampaui batasnya oleh hamba, baik itu yang diikuti atau ditaati atau diibadati. Thaghut itu banyak, apalagi pada masa sekarang. Adapun pentolan-pentolan thaghut itu ada 5, diantaranya :

1. Syaitan
Syaitan yang mengajak ibadah kepada selain Allah. Adapun tentang makna ibadah tersebut dan macam-macamnya telah anda pahami dalam uraian sebelumnya. Syaitan ada dua macam : Syaitan Jin dan Syaitan Manusia. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Dan begitulah Kami jadikan bagi tiap nabi musuhnya berupa syaitan-syaitan manusia dan jin” (Al An’am : 112)
dan firmanNya ta’ala :
“Yang membisikan dalam dada-dada manusia, berupa jin dan manusia” (An Naas : 5-6)
Orang mengajak untuk mempertahankan tradisi tumbal dan sesajen, dia adalah syaitan manusia yang mengajak ibadah kepada selain Allah. Tokoh yang mengajak minta-minta kepada orang yang sudah mati adalah syaitan manusia dan dia adalah salah satu pentolan thaghut. Orang yang mengajak pada system demokrasi adalah syaitan yang mengajak ibadah kepada selain Allah, dia berarti termasuk thaghut. Orang yang mengajak menegakan hukum perundang-undangan buatan manusia dia adalah syaitan yang mengajak beribadah kepada selain Allah.
Orang yang mengajak kepada paham-paham syirik (seperti : sosialis, kapitalis, liberalis, dan falsafah syirik lainnya) maka dia adalah syaitan yang mengajak beribadah kepada selain Allah, sedangkan Dia Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Bukankan Aku memerintahkan kalian wahai anak-anak Adam : “Janganlah ibadati syaitan, sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian” (Yaasin : 60)

2. Penguasa Yang Dzalim
Penguasa dzalim yang merubah aturan-aturan (hukum) Allah, thaghut semacam ini adalah banyak sekali dan sudah bersifat lembaga resmi pemerintahan negara-negara pada umumnya di zaman sekarang ini. Contohnya tidaklah jauh seperti parlemen, lembaga inilah yang memegang kedaulatan dan wewenang pembuatan hukum/undang-undang. Lembaga ini akan membuat hukum atau tidak, dan baik hukum yang digulirkan itu seperti hukum Islam atau menyelisihinya maka tetap saja lembaga berikut anggota-anggotanya ini adalah thaghut, meskipun sebahagiannya mengaku memperjuangkan syari’at Islam. Begitu juga Presiden/Raja/Emir atau para bawahannya yang suka membuat SK atau TAP yang menyelisihi aturan Allah, mereka itu adalah thaghut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Orang dikala menghalalkan yang haram yang telah diijmakan atau merubah aturan yang sudah diijmakan, maka dia kafir lagi murtad dengan kesepakatan para fuqaha” (Majmu Al Fatawa : )
Ketahuilah wahai saudaraku wahai saudaraku sesungguhnya para anggota parlemen itu adalah thaghut, tidak peduli darimana saja asal kelompok atau partainya, presiden, menteri-menteri negara bersistem syirik adalah thaghut, sedangkan para aparat keamanannya adalah sadanah (juru kunci) thaghut apapun status kepercayaan yang mereka klaim. Orang-orang yang berjanji setia pada system syirik dan hukum thaghut adalah budak-budak (penyembah/hamba) thaghut. Orang yang mengadukan perkaranya kepada pengadilan thaghut disebut orang yang berhukum kepada thaghut, sebagaimana firmanNya ta'ala :
“Apakah engkau tidak melihat kepada orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang dtirirunkan sebelum kamu, sedangkan mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya” (An Nisa : 60)

3. Orang yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan.
Kepala suku dan kepala adat yang memutuskan perkara dengan hukum adat adalah kafir dan termasuk thaghut. Jaksa dan Hakim yang memvonis bukan dengan hukum Allah tetapi berdasarkan hukum/undang-undang buatan manusia, maka sesungguhnya dia itu Thaghut. Aparat dan pejabat yang memutuskan perkara berdasarkan Undang Undang Dasar thaghut adalah thagut juga. Allah ta’ala berfirman :
“Dan siapa saja yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka merekalah orang-orang kafir itu” (Al Maidah : 44)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Siapa yang meninggalkan aturan yang baku yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdullah penutup para nabi dan dia justru merujuk pada aturan-aturan (hukum) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia telah kafir. Apa gerangan dengan orang yang merujuk hukum Ilyasa (Yasiq) dan lebih mendahulukannya daripada aturan Muhammad maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin” (Al Bidayah : 13/119) Sedangkan Ilyasa (Yasiq) adalah hukum buatan Jenggis Khan yang berisi campuran hukum dari Taurat, Injil, Al Qur’an. Orang yang sekarang lebih mendahulukan hukum buatan manusia dan adat daripada aturan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam maka dia itu kafir.
Dalam ajaran tauhid, seseorang lebih baik hilang jiwa dan hartanya daripada dia mengajukan perkaranya kepada hukum thaghut, Allah ta’ala berfirman :
“Fitnah (syirik & kekafiran) itu lebih dahsyat dari pembunuhan” (Al Baqarah : ) Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata : “seandainya penduduk desa dan penduduk kota perang saudara hingga semua jiwa musnah, tentu itu lebih ringan daripada mereka mengangkat thaghut dibumi ini yang memutuskan (persengketaan mereka itu) dengan selain Syari’at Allah” (Ad Durar As Saniyyah : 10 Bahasan Thaghut)
Bila kita mengaitkan ini dengan realita kehidupan, ternyata umumnya manusia menjadi hamba thaghut dan berlomba-lomba meraih perbudakan ini. Mereka rela mengeluarkan biaya berapa saja untuk menjadi Abdi Negara dan sistem thaghut, mereka mukmin kepada thaghut dan kafir terhadap Allah. Sungguh, buruklah status mereka ini….. !!

4. Orangyang Mengaku Mengetahui Hal Yang Ghaib Selain Allah.
Semua yang ghaib hanya ada ditangan Allah, Dia ta’ala berfirman :
“Dialah Dzat yang mengetahui hal yang ghaib, Dia tidak menampakan yang ghaib itu kepada seorangpun” (Al Jin : 26)
Bila ada orang mengaku mengetahui hal yang ghaib maka dia adalah thaghut, seperti dukun, paranormal, tukang ramal, tukang tenung, dsb. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal dan dia mempercayainya, maka dia telah kafir, dan apa gerangan dengan status si dukun tersebut ??!

5. Orang Yang Diibadati Selain Allah Dan Dia Ridha Dengan Peribadatan itu.
Orang yang senang bila dikultuskan, sungguh dia adalah thaghut. Orangyang membuat aturan yang menyelisihi aturan Allah dan RasulNya adalah thaghut. Orang yang mengatakan “Saya adalah anggota legislatif” sama dengan ucapan : “Saya adalah Tuhan” karena orang-orang legislatif itu sudah merampas hak khusus Allah Subhanahu Wa Ta'ala, yaitu membuat hukum (undang-undang). Mereka senang bila hukum yang mereka gulirkan itu ditaati lagi dilaksanakan, maka mereka adalah thaghut. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Dan barang siapa yangmengatakan diantara mereka ; “Sesungguhnya Aku adalah Tuhan selain Allah” maka Kami membalas dia dengan Jahannam, begitulah Kami membalas orang-orang yang zalim” (Al Anbiya : 29)

Itulah tokoh-tokoh thaghut didunia ini.

Orang tidak dikatakan beriman kepada Allah sehingga dia kufur kepada thaghut, kufur kepada thaghut adalah separuh laa ilaaha ilallaah. Tahghut yang paling berbahaya pada masa sekarang adalah thaghut hukum, yaitu para penguasa yang membabat aturan Allah, mereka menindas umat ini dengan besi dan api, mereka paksakan kehendaknya, mereka membunuhi, menculik, dan memenjarakan kaum muwahhidin yang menolak tunduk kepada hukum mereka. Akan tetapi banyak orang yang mengaku Islam berlomba-lomba untuk menjadi budak dan hamba mereka. Dan mereka juga memiliki ulama-ulama jahat yang siap mengabdikan lisan dan pena mereka demi kepentingan ‘tuhan’ mereka.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala cepat membersihkan negeri kaum muslimin dari para thaghut dan kaki tangannya, Amin ya Rabbal ‘alamiin….

KETIGA : Tauhid adalah syarat diterimanya amal shaleh

Amal shalih apapun, baik itu shalat, shaum,zakat, haji, infaq, birrul walidain (bakti pada orang tua) dan sebagainya tidak mungkin diterima Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan tidak ada pahalanya bila tidak disertai tauhid yang bersih dari syirik. Berapa banyaknya amal kebaikan yang dilakukan seseorang tetap tidak mungkin ada artinya bila pelakunya tidak kufur kepada thaghut, sedangkan seseorang tidak dikatakan beriman kepada Allah apabila dia tidak kufur kepada thaghut.

Anda telah mengetahui makna kufur kepada thaghut beserta thaghut-thaghut yang mesti kita kafir kepadanya. Kufur kepada thaghut serta iman kepada Allah adalah dua hal yang dengannya orang bisa dikatakan mukmin dan dengannya amalan bisa diterima, Allah ta’ala berfirman :
“Siapa yang melakukan amal shalih baik laki-laki atau perempuan sedang dia itu mukmin, maka Kami akan berikan kepadanya penghidupan yang baik serta Kami akan memberikan kepadanya balasan dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan” (An Nahl : 97)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala menetapkan pahala amal shalih hanya bagi orang mukmin, sedang orang yang suka membuat tumbal, sesajen, meminta kepada orang yang sudah mati atau mengusung demokrasi atau nasionalisme dan falsafah system syirik lainya dia bukanlah orang mukmin, tetapi dia musyrik, karena tidak kufur kepada thaghut, sehingga shalat, shaum, zakat dan ibadah lainnya yang dia lakukan tidaklah sah dan tidak ada pahalanya.
Juga Allah ta’ala berfirman :
“Siapa yang melakukan amal shalih, baik laki-laki atau perempuan sedangkan dia mukmin, maka mereka masuk surga seraya mereka diberi rizqi didalamnya tanpa perhitungan” (Ghafir/Al Mukmin : 60)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala menetapkan pahala masuk surga bagi orang yang beramal shalih dengan syarat bahwa dia mukmin, sedangkan para pendukung Pancasila, Demokrasi, dan Undang Undang Dasar buatan tidaklah dikatakan mukmin, karena tidak kufur kepada thaghut, tapi justeru dia adalah hamba thaghut.
Juga dalam firmanNya ta’ala :
“Dan siapa yang melakukan amalan-amalan shalih baik laki-laki atau perempuan, sedang dia itu mukmin, maka mereka masuk surga dan mereka tidak dizalimi barang sedikitpun” (An Nisa : 124)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala menetapkan pahala surga bagi orang yang beramal shalih, dengan syarat dia mukmin, sedangkan aparat thaghut, Demokrasi, Pancasila, Undang Undang Dasar buatan dan Pemerintah kafir mereka itu bukan mukmin, karena tidak kafir terhadap thaghut, bahkan mereka menjadi pelindung dan benteng thaghut.
Juga firmanNya ta’ala :
“Dan siapa yang melakukan amal-amal shalih sedang dia itu mukmin, maka dia tidak takut dizalimi dan tidak pula takut akan dikurangi” (Thaha : 112)
Ini berbeda dengan orang musyrik dan kafir, dia tidak dapat apapun dari amal shalih yang dia kerjakan.
Juga firmanNya ta’ala :
“Dan siapa yang melakukan amal shalih, sedang dia itu mukmin maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya dan sesungguhnya Kami tuliskan bagi dia apa yang dia lakukan” (Al Anbiya : 94)
Sedangkan para penguasa system syirik dan para pejabatnya serta para anggota parlemennya bukanlah orang mukmin tetapi mereka adalah Thaghut.
Semua ayat mengisyaratkan iman untuk diterimanya amal shalih, sedangkan para penyembah kuburan atau batu atau pohon keramat atau pengusung demokrasi atau hukum buatan manusia atau falsafah syirik (seperti Pancasila, dan Undang Undang Dasar buatan) atau aparat keamanan penguasa thaghut bukanlah orang yang kafir terhadap thaghut.
Jadi, kemanakah amalan-amalan yang mereka lakukan? Maka jawabannya ; hilang, sirna lagi sia-sia, sebagaimana firmanNya Subhanahu Wa Ta'ala:
“Sungguh, bila kamu berbuat syirik, maka hapuslah amalanmu, dan sunguh kamu tergolong orang-orang yang rugi” (Az Zumar : 65)
Amalan-amalan yang banyak itu hilang sia-sia dengan satu kali saja berbuat syirik, maka apa gerangan apabila orang tersebut terus-menerus berjalan diatas kemusyrikan, padahal ayat ini ancaman kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang tidak mungkin berbuat syirik. Dan begitu juga para nabi semuanya diancam dengan ancaman yang sama. Allah ta’ala berfirman :
“Dan bila mereka berbuat syirik, maka lenyaplah dari mereka apa yang pernah mereka amalkan” (Al An’am : 88)
Ya, lenyap bagaikan debu yang disapu angin topan, sebagaimana firmanNya ta’ala :
“Amalan-amalan mereka (orang-orang musyrik/kafir) adalah bagaikan debu yang diterpa oleh angin kencang di hari yang penuh badai” (Ibrahim : 18)
Dalam ayat ini Allah serupakan amalan orang-orang kafir dengan debu, dan kekafiran/kemusyrikan mereka diserupakan dengan angina topan. Apa jadinya bila debu diterpa angin topan… ? tentu lenyaplah debu itu.
Allah juga mengibaratkan amalan orang kafir itu dengan fatamorgana :
“Dan orang-orang kafir amalan mereka itu bagaikan fatamorgana ditanah lapang, yang dikira air oleh orang yang dahaga, sehingga tatkala dia mendatanginya ternyata dia tidak mendapatkan apa-apa, justeru dia mendapatkan Allah disana kemudian Dia menyempurnakan penghisabanNya” (An Nur : 39)
Orang yang musyik disaat dia melakukan shalat, zakat, shaum, dan sebagainya, mengira bahwa pahalanya banyak disisi Allah, tapi ternyata saat dibangkitkan dia tidak mendapatkan apa-apa melainkan adzab!
Dalam ayat lain amalan-amalan mereka itu bagaikan debu yang bertaburan :
“Dan Kami hadapkan apa yang telah mereka kerjakan berupa amalan, kemudian Kami jadikannya debu yang bertaburan” (al Furqan : 23)
Sungguh… sangatlah dia merugi sebagaimana dalam ayat lain :
“Katakanlah, “Apakah kalian mau kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling rugi amalannya, yaitu orang-orang yang sia-sia amalannya dalam kehidupan di dunia ini, sedangkan mereka mengira bahwa mereka melakukan perbuatan baik?” (Al Kahfi : 102-104)
Ya, memang mereka rugi karena mereka lelah, capek, letih, berusaha keras, serta berjuang untuk amal kebaikan, tapi ternyata tidak mendapat apa-apa karena tidak bertauhid. Allah ta’ala berfirman : “Dia beramal lagi lelah, dia masuk neraka yang sangat panas” (Al Ghasyyiah : 3-4).

Ini (tauhid) adalah syarat paling mendasar yang jarang diperhatikan oleh banyak orang. Masih ada dua syarat lagi yang berkaitan dengan satuan amalan, yaitu ikhlas dan mutaba’ah. Dan berikut ini adalah penjelasan ringkasnya :

1. Ikhlas
Orang yan melakukan amal shaleh akan tetapi tidak ikhlas ,justeru dia ingin dilihat orang atau ingin didengar orang, maka amalan-amalan itu tidak diterima Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagaimana firmanNya :
“Siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah dia beramal shalih dan tidak menyekutukan sesuatupun dalam ibadah kepada Tuhannya” (Al Kahfi : 110)
Ayat ini berkenaan dengan ikhlas, orang yang saat melakukan amal shalih dan dia bertujuan yang lain bersama Allah maka ia itu tidak ikhlas.
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits qudsiy :
“Bahwa Allah berfirman : ‘Aku adalah yang paling tidak butuh akan sekutu, siapa yang melakukan amalan dimana dia menyekutukan yang lain bersamaKu dalam amalan itu, maka Aku tinggalkan dia dengan penyekutuannya” (HR. Muslim)

2. Mutaba’ah (sesuai dengan tuntunan Rasul)
Amal ibadah meskipun dilakukan dengan ikhlas akan tetapi tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, maka pasti ditolak.
Beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Siapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasarnya dari kami , maka itu tertolak” (HR. Muslim)
Beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda : “Jauhilah hal-hal yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat” (HR. At Tirmidzi)
Sedikit amal tapi diatas Sunnah adalah lebih baik daripada banyak amal dalam bid’ah. Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu berkata : “Ikutilah (tuntunan Rasulullah) dan jangan mengada-ada yang baru”
Jadi, dalam urusan ibadah, antum harus bertanya pada diri sendiri : “Apa landasan atau dalil yang kamu jadikan dasar? Karena siapa kamu beramal ?” Apabila tidak mengetahui dasarnya maka tinggalkanlah amalan itu karena hal itu lebih selamat bagi kita.


PMJ. 10 April 2004
Hamba yang faqir,



Abu Sulaiman Aman Abdurrahman

Ustad Salafy

Mimpi Tentang Ustadz Salafy dari Balik Jeruji Besi
Kisah ini dinukil dari risalah yang ditulis oleh Ali Ghufran @ Mukhlas di dalam tempat beliau berkhalwat, LP Nusakambangan, Jumadil Ula 1428H lalu. Berikut tulisan beliau:
Sewaktu kami berada di LP kerobokan Bali, di sana ada minimal tiga ustadz yang menamakan diri sebagai pengikut salaf atau bermanhaj dan berpaham salaf (salafy) yang ikut andil membina, mendidik dan mengajar para napi (narapidana) di sana –alhamdulillah– salah satu di antara ustadz itu ngajar mingguan (Ustadz M. Alim) sedang yang dua lagi sebagai khatib Jum’at saja.


Ustadz-ustadz tersebut apabila menyampaikan khutbah sering menyindir-nyindir kami dan kelompok kami, tapi alhamdulillah tidak terus terang sehingga tidak setiap jama’ah memahami arah pembicaraannya. Sindiran-sindiran itu misalnya, beramal tanpa ilmu, ahludh dhalal, ahlul bid’ah, jauh dari ulama’ dan ahlul ilmi, orang yang sia-sia amalannya, para penjahat bukan mujahid, khawarij dan lain sebagainya.
Tapi yang paling aneh sikap yang ditunjukkan ustadz-ustadz itu adalah menghijrahi kami seperti enggan bertemu dan bertatap muka dengan kami (khususnya kami bertiga), tidak mau salam dan menjawab salam, tak mau berjabat tangan, bila kami sengaja hadang tempat lewatnya, maka mereka berpaling ke tempat lain.
Hal ini bagi kami tidak merasa aneh sebab kami betul-betul paham, prinsip dan paham mereka, menurut mereka sikap itu adalah tuntutan syari’at dan seafdhal-afdhal amal dan jihad mereka pada masa kini, yakni berjihad dengan menghijrahi ahlul bid’ah termasuk khawarij, dan mereka dengan tidak ada keraguan menganggap bahwa kami adalah golongan khawarij.
Inilah sangkaan yang mereka yakini sebagai warisan dari ulama’ salaf, sehingga mengolok-olok, mencaci-maki, menggunjing dan sebagainya terhadap kami dan orang-orang seperti kami, bahkan mayoritas para mujahidin yang berjihad pada masa kini (yang menurut sebagian dari mereka bahwa hari ini tidak ada jihad dan belum tiba masanya untuk berjihad). Perbuatan yang keji itu mereka anggap sebagai amal shaleh yang besar pahalanya yang dapat mengantarkan diri mereka mendapat ridha Allah dan masuk ke dalam syurga. Wallahu musta’an.
Sikap menghijrahi dan sindir-menyindir inilah yang menjadi tanda-tanya bagi sebagian para napi khususnya yang berazam kuat untuk bertaubat dan kembali kepada pemahaman Islam yang benar sesuai dengan pemahaman salaf, menyaksikan keadaan yang semacam itu, maka datanglah pada suatu hari teman sepenjara tersebut menjumpai saya dan berkata: "Ustadz, saya heran melihat antum dan ustadz-ustadz itu, pakaian sama, jenggot sama, cara shalatnya sama, sama-sama mengikut sunnah dan anti bid'ah sama-sama nampak baik, kenapa tidak bisa bergaul dengan baik, tidak saling tegur-menegur, kelompok antum sering disindir-sindir, dikatakan jahil, sesat, ahlul bid’ah, kami dipesan tidak usah belajar dengan antum dan sebagainya." Demikianlah kurang lebih apa yang disampaikan kepada saya.
Maka saya katakan kepadanya: Sebenarnya pemahaman kami banyak kesamaan dengan mereka dalam urusan agama ini, kami berbeda dengan mereka dalam beberapa masalah saja, antara lain dalam masalah jihad dan pemerintahan. Menurut saya perselisihan dalam masalah khilafiyah seperti ini wajar, dan tidak boleh dijadikan alasan untuk bermusuhan sesama muslim, akan tetapi ustadz-ustadz itu justru menjadikan perselisihan pendapat ini sebagai alasan untuk menjauhi kami, membenci kami, dan mencela kami, bahkan menganggap dan menjuluki kami sebagai ahlul bid’ah, ahludh dhalal, khawarij dan sebagainya. Demikianlah kira-kira yang saya jelaskan kepada teman sepenjara itu.
Kemudian dia bertanya: "Kalau begitu saya harus ikut siapa dan yang mana?" Saya jawab: "Ikuti yang benar dan yang baik, dan tinggalkan yang bathil dan yang buruk," dia komentar lagi, "menurut saya keterangan-keterangan dari kedua belah pihak sama-sama berdalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah," dan katanya lagi, "ustadz, saya ini tidak ada ilmu, baru mulai mengerti sunnah di sini, dulu sibuk dengan urusan dunia sampai lupa tak mau belajar dan mendalami ilmu agama, jadi saya ini tidak mengerti dan tidak bisa menilai siapa yang lebih benar, tolonglah beritahu dan tunjukkan."
Lalu saya katakan, menurut syari’at manusia muslim itu terbagi menjadi tiga kelompok:
1.Mujtahid
2.Muttabi’
3. Muqallid.
Kemudian saya jelaskan satu dengan singkat satu persatu lalu saya katakan, bahwa antum termasuk muqallid, nah, kata ulama’, apabila seorang muqallid menjumpai dua orang alim yang menurut penilaiannya sama-sama berilmu dan tidak mampu membedakan mana di antara keduanya yang lebih alim, maka dia memilih yang paling baik akhlaqnya (zuhudnya, wara'nya dan sebagainya). Maka ikutilah mana di antara keduanya menurut anta yang lebih baik akhlaqnya.
Dia komentar lagi, katanya: kedua-duanya baik, dan sepertinya sama saja, sama-sama menjaga sunnah, sama-sama berjenggot, celana di atas betis, murah senyum, sama-sama berjuang untuk Islam katanya, dan macam-macam lagi dia bilang, zuhud dan waranya juga kelihatan sama, sama-sama anti rokok, musik dan sebagainya.
Subhanallah, saya jadi kesulitan untuk menjawab, akan tetapi alhamdulillah akhirnya dapat jalan keluar, saya katakan kepadanya: sekarang begini saja, coba antum shalat istikharah memohon kepada Allah Ta’ala agar ditunjukkan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, singkat cerita, alhamdulillah dia menerima nasehat ini.
Kemudian kira-kira dua hari setelah itu atau lebih saya tidak ingat pasti tapi kurang dari seminggu, dia menjumpai saya lagi dan bercerita bahwa malam kemarin dia bermimpi yang kisah mimpinya kurang lebih sebagai berikut:
Bahwasanya ustadz yang biasa mengajar mingguan di masjid At-Taubah, LP Kerobokan (ustadz M.Alim) berdiri di depan majlis seperti biasa beliau mengajar, dan di tangannya memeganga bangkai seekor ular yang panjang dan berbau busuk sekali, bangkai itu dia makan sedikit demi sedikit, sambil mengajak yang hadir (para pelajarnya) untuk sama-sama menikmatinya.
Kata para pelajar termasuk pemimpi, "Ustadz! Bagaimana bangkai ular yang sebusuk itu ustadz makan?" Jawab ustadz, "Ini nikmat sekali... Ayo makan." Ular yang busuk itu dimakannya terus sampai habis ludes tidak tersisa sedikit pun. Kata pemimpi, pada saat itu seluruh yang hadir dalam majlis itu merasa jijik sekali, dan seluruhnya berbau busuk yang bersangatan apalagi sewaktu bangkai itu di kunyah, dari mulut keluar bau bacin yang keterlaluan.Dan dari sekian pelajar yang hadir tidak ada seorang pun yang menjamahnya dan memakannya meskipun diajak dan ditawarin serta dirayu berkali- kali.
Sesudah itu teman sepenjara mukmin yang penasaran itu bertanya kepada saya: Ustadz, apa takwilnya? Saya katakan, Masya Allah! Maaf! Kurang bagus kalau saya komentar mengenai mimpi antum ini, sebaiknya ceritakan mimpi ini kepada ustadz yang bersangkutan (Ustadz M. Alim). Beliau –insya Allah– memahami dan telah mempelajari ilmu takwil mimpi, di samping itu –insya Allah– mimpi antum ini akan bermanfaat baginya sebagai tadzkirah, sebab seorang ustadz juga perlu tadzkirah, jangan lupa kalau ustadz datang mengajar lagi kemari ceritakan mimpi itu.
Jawabnya: "ana segan tak berani," saya katakan, "takut apa? ana yakin kalau anta sampaikan kepada beliau, beliau akan mengucapkan (Jazakumullah khairul jazaa’). Teman itu masih tetap mengatakan segan dan tidak berani menceritakannya, saya katakan lagi: "Kalau begitu sudahlah diam saja dan memohon kepada Allah Ta’ala mudah-mudahan mimpi tersebut banyak membawa kebaikan."
Demikianlah kurang lebih kisah mimpi teman sepenjara itu, sengaja namanya tidak saya sebutkan untuk kemaslahatan, semoga mimpi tersebut menjadi tazkirah dan pelajaran bagi yang mau mengambilnya. Saya yakin -wallahu a’lam- bahwa mimpi teman sepenjara adalah mimpi yang benar dan baik, dan kandungan mimpinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan sesuai dengan wasiat dan firman Allah Ta’ala dalam QS Al-Hujuraat (49): 11-12 pada ayat 12.
Allah memberi perumpamaan bahwa orang yang menggunjing saudaranya sesama mukmin bagaikan memakan daging saudaranya yang sudah mati. Dalam ayat ini penggunjing diumpamakan seperti pemakan bangkai manusia, sedang dalam mimpi tersebut seperti pemakan bangkai ular, apa rahsianya? -wallahu a’lam- menurut saya ditinjau dari ilmu takwil mimpi, ular ditakwilkan dengan musuh. (Lihat kitab Ta’bir Ibnu Sirin hal.179).
Ustadz M. Alim yang dimimpikan dari segi lahirnya (sikapnya, ucapannya dan tindakannya) bisa dinilai bahwa dia menganggap kami dan orang-orang yang seperti kami adalah musuhnya, bahkan kalau kita baca dalam tulisan orang-orang yang sejenisnya dan sehabitat dengannya, misalnya dalam majalah Asy-Syariah, Al-Furqan dan Adz-Dzakirah serta kitab “Mereka Adalah Teroris” dan sebagainya, bahwa kami dan orang-orang seperti kami yang sedang berusaha berjihad dijalan Allah -yang mereka anggap bid’ah- adalah musuh utama mereka pada masa kini.
Maka sungguh sangat tepat dalam mimpi itu yang dikunyah-kunyah adalah bangkai ular, sabagai gambaran yang menunjukkan bahwa yang diimpikan dan orang-orang yang sepertinya telah terbiasa berprasangka buruk, tajassus, memperolok-olok dan perangai-perangai buruk lainnya termasuk menggunjing saudara-saudaranya yang dianggap sebagai musuhnya termasuk kami.
Dan kenapa tidak bangkai manusia yang dilahap dalam mimpi itu seperti dalam ayat Al-Qur’an, rahasianya -wallahu a’lam- menurut saya, sebab kalau yang dimakan itu bangkai manusia, berarti yang digunjing itu saudara sesama mukmin biasa yang dibenci karena sesuatu perbuatan yang tidak disukai, tapi tidak sampai diyakini sebagai musuh dalam agama. Maka yang dimimpikan sebagai pemakan bangkai ular adalah lebih berat pelanggarannya daripada pemakan bangkai manusia dalam konteks ini.
Dan alhamdulillah, takwil mimpi tersebut kandungannya persis dengan apa yang kami pahami dan kami yakini selama ini, bahwasanya amalan, adat dan kebiasaan yang dilakukan oleh segolongan manusia dari golongan yang mengaku sebagai pengikut salaf (salafy) seperti menggunjing, mencela, memaki, menghijrahi, menjuluki dengan julukan- julukan yang tidak sepatutnya, memvonis sebagai ahlul bid’ah, khawarij dan sebagainya dengan cara ngawur dan serampangan, dan sebagainya dengan ucapan, tulisan, maupun tindakan terhadap saudara-saudaranya sesama mukmin, yang selama ini mereka yakini sebagai amal shalih dan jihad yang paling utama yang bisa mengantarkan pelakunya mendapat ridha Allah Ta’ala dan masuk syurga, akan tetapi justru sebaliknya, mereka telah menggondol dosa besar. Hanya Allah Ta’ala sajalah yang mengetahui beberapa banyak dosa yang telah dikoleksinya.
Himbauan
Oleh karena itu wahai saudaraku pembaca tulisan ini, jika antum berkesempatan jumpa dengan saudara-saudara kita dari kelompok salafy khususnya yang biasa melakukan perangai yang tidak terpuji, seperti yang telah disebutkan di atas, sampaikanlah kepada mereka mimpi teman sepenjara saya ini, mudah-mudahan menjadi tazkirah yang bermanfaat bagi mereka.
Ini menurut saya satu cara yang tepat untuk mengingatkan mereka, saya belum menemukan cara yang lebih bijak dan hikmah yang dapat mengetuk fitrah mereka dan menembus benak dan hati mereka, sebab segala yang datang dari yang mereka anggap sebagai teroris dan khawarij mereka nilai seperti sampah meskipun mutiara. Semoga dengan cara ini -dengan izin Allah- mereka menyadari.
Ustadz M. Alim yang diimpikan di atas -alhamdulillah saya dengan taqdir Allah dan kehendak-Nya- saya telah mengikuti dan mendengar khutbah-khutbahnya berkali-kali. Menurut penilaian saya, meskipun sikapnya menunjukkan tidak menyukai kami, akan tetapi kritikan dan sindiran serta celaan yang disampaikan melalui khutbahnya tidak sebuas dan sebringas yang dilakukan Al-ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh dan sejenisnya, kalau dimatematikakan tidak ada tidak ada sepuluh persennya, itupun gambarannya dalam mimpi sudah kayak gitu.
Bagaimana pula jika seandainya yang dimimpikan itu yang buas dan bringas serta menjadikan para ulama’ dan para mujahidin yang tidak disukainya yang masih hidup maupun yang sudah mati sebagai bahan cercaannya, senda guraunya dan gunjingannya, kira-kira berapa banyak bangkai-bangkai ular yang busuk lagi menjijikkan yang dikunyah dan dilahapnya.
Saya tidak menjadikan mimpi tersebut sebagai dalil atau hujjah sebagaimana yang telah saya uraikan di atas, akan tetapi saya yakin mimpi teman sepenjara ini merupakan mimpi yang datang dari Allah karena di samping mimpinya tersamar dan simbolis, pemimpi tidak ada kepentingan apa-apa selain mencari kebenaran, dan yang penting untuk diketahui bahwa pemimpi tidak menaruh rasa kebencian pada yang diimpikan. Bahkan beliau termasuk salah satu ustadz yang paling disukai taklim dan mengajarnya, apalagi pemimpi sebelumnya telah berusaha meminta fatwa dan beristikharah dalam masalah yang dimimpikannya tersebut. Maka saya tidak ragu-ragu lagi bahwa mimpi ini adalah termasuk mimpi yang benar dan tidak dusta, mimpi yang baik yang membawa maslahah.
Oleh karena itu sudah sewajarnya bagi kita -kaum mukminin- untuk mengambil manfaat darinya sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya dan menjadikannya sebagai tazkirah, dengan menghentikan amalan-amalan buruk seperti tersebut di atas yang biasa kita lakukan.
Sukakah kita terus-menerus memakan bangkai ular busuk dan bangkai saudara kita sendiri? Sampai kapan kita begini. Tiada yang untung dengan keadaan yang semacam ini melainkan musuh-musuh Allah dari syaitan-syaitan manusia dan syaitan-syaitan jin laknatullah 'alaihim ajma'in.
Dan sekali lagi wahai saudaraku, jangan lupa sampaikan masalah yang penting ini kepada saudara-saudara kita, dengan niat semata-mata mencari ridha Allah Ta’ala dan pahala-Nya kemudian berusaha mengishlah hubungan antar kaum mukminin, mudah-mudahan usaha antum diberkati Allah Azza wa Jalla dan mengantarkan kepada izzul Islam wal muslimin

Selasa, 12 Mei 2009

Lanjutan Laa Tahzan

Kedua
Lari dari orang-orang kafir saat istidl’af apakah ia itu wajib atau dianjurkan atau apa ?

Bila yang lalu telah jelas dan engkau mengetahui disyari’atkannya al firar ( lari ) dari kuffar ( orang-orang kafir ) saat kondisi istidl’af ( ketertindasan ) maka tinggallah saatnya engkau mengetahui hukumnya. Maka kami katakan dengan mohon taufik Allah :
Sesungguhnya ini kembali kepada kondisi orang yang mencari dan yang dicari. Bila yang dicari ( mathluh ) itu orang yang memiliki kedudukan atau keluarga besar atau kekuatan ( kelompok / jamaah ) dan ia mengetahui atau memiliki dugaan kuat bahwa ia tidak akan dihinakan atau terkena fitnah dengan sebab ia pergi mendatangi mereka, maka bolehlah hal itu baginya, bahkan bisa jadi dianjurkan jika mampu menampakkan diennya di tengah mereka dan ia memperdengarkan kepada mereka apa yang mereka tidak sukai berupa tauhid, celaan terhadap tuhan-tuhan mereka dan sembahan-sembahan mereka, serta bara’ah dari kebatilan dan syirkiyyat mereka.
Bila yang dicari itu orang yang lemah dan kuat dugaan padanya bahwa mereka akan menghinakannya atau menindasnya atau mereka memperdengarkan kepadanya dari kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang jelas suatu yang mana dia tidak kuasa untuk membantahnya bahkan bisa saja dia menampakkan pengakuannya terhadapnya dan keridlaannya dalam rangka taqiyyah setelah dia pergi menghampiri mereka dengan kedua kakinya dengan keinginan sendiri, maka seperti ini tidak halal baginya pergi kepada mereka dengan tanpa ikrah lagi tanpa diciduk selama-lamanya.
Karena itu adalah berjalan dan bergegas dengan kedua kaki menghampiri fitnah, sedangkan telah lalu larangan Nabi dari hal seperti itu dalam hadits-hadits yang lalu. Dan orang yang dicari dalam hal ini memiliki suri tauladan yang baik pada al anbiya dan ash-shalihin dan para pengikut mereka yang saleh yang lari menyelamatkan dien mereka dari kuffar.
Dan dalam hijrah kaum muhajirin pertama ke Habasyah ada pelajaran untuk hal ini. Karena telah hijrah kesana orang yang takut dan khawatir penindasan dan fitnah kaum musyrikin, dan adapun orang-orang terpandang seperti Abu Bakar, Umar dan yang lainnya maka sesungguhnya mereka tidak hijrah sehingga mereka diperintahkan hijrah ke Madinah.
Dan tidak boleh dikatakan bahwa orang yang dicari dalam keadaan ini adalah mukrah sehingga boleh baginya memenuhi panggilan dan pergi, dan dari sana ia memakai taqiyyah di hadapan mereka.
Sebagaimana yang terjadi pada banyak orang yang pergi menghadap auliya thoghut dengan keinginan mereka, tatkala mereka ditanya tentang kami dan tentang kajian kami, sebagian mereka berkata :”Andaikata kami tahu bahwa kajian Abu Muhammad mengganggu keamanan negara atau sesuatu yang seperti ini tentulah kami orang yang pertama kali melaporkannya,”sungguh ini adalah penampakkan muwalah terhadap mereka dan penampakan mu’adah ( sikap permusuhan ) terhadap orang yang mengganggu keamanan Negara kafir tanpa dharurat dan tanpa ikrah.
Bila orang itu berkata :..Kami saat mengatakan ini di hadapan mereka dan dalam kekuasaan mereka.
Maka kami katakan :…”Tapi kalian pergi dan masuk dengan diri kalian di hadapan mereka dan dalam kekuasaan mereka pada awalnya dalam keadaan ihktiyar ( keinginan sendiri ) tidak diciduk dan tidak dipaksa.
Oleh sebab itu alangkah serupanya keadaan mereka itu – yaitu orang yang manmpakkan kesejalanan dengan kuffar dan ridla yang nampak terhaap kekafiran dan kemusyrikan mereka terus dia beralasan dengan alasan taqiyyah dan ikrah padahal sebelum itu dia mampu untuk hijrah dan kabur – ( saya katakan alangkah serupanya mereka itu ) dengan keadaan orang yang masuk islam di Mekkah namun ia tidak hijrah dan tidak bergabung dengan Nabi saw ke Madinah karena mereka merasa berat dengan tempat tinggal, isteri atau tanah air, sehingga saat yaumal furqan yamal taqal jam’an ( perang badar ) mereka dipaksa ikut keluar untuk berperang oleh kaum musyrikin dan mereka dijadikannya di barisan terdepan, kemudian kaum muslimin bila sebagian mereka menembakkan panah-panahnya, maka panah itu mengenai salah seorang diantara diantara mereka, maka kaum muslimin berkata :..”Kita membunuh ikhwan kita” maka Allah tabaraka wa ta’ala menurunkan firman-Nya :

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri ( kepada mereka ) malikat bertanya :..”Dalam keadaan bagaimana kamu ini ? mereka menjawab :…Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri ( Mekkah ). Para malaikat berkata :…Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ? “orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam,dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,” ( An Nisa : 97 ).

Kenapa Allah ‘azza wa jalla tidak mengudzur mereka padahal mereka itu beralasan dengan istidl’af dan mereka dikeluarkan dalam barisan kaum musyrikin dengan kondisi ikrah ?!
Maka jawabannya :…”Karena mereka tidak dipaksa saat duduk di tengah mereka pada awal mulanya, bahkan mereka mampu untuk lari dan hijrah di awal dulu, kemudian tatkala mereka tsaqshir dalam hal itu maka mereka tidak diudzur dengan sebab penguasaan orang-orang musyrik atas diri mereka dan istidl’af mereka setelah itu, karena mereka itu sebab dalam istidl’af dan penguasaan kaum musyrikin itu.
Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah ibnu Muhammad ibnu Abdul Wahhab berkata dalam risalah “Hukmu Muwalati Ahlil Isyrak” yang terkenal dikalangan orang Nejed dengan nama “Ad-Dula-il” karena di dalamnya beliau menyebutkan lebih dari dua puluh dalil atas kekafiran orang-orang yang tawalli kepada Ahlusy Syirki, beliau berkata tentang ayat yang lalu : ( Bila ada yang berkata :…Kenapa ikrah untuk ikut keluar tidak menjadi udzur bagi orang-orang yang terbunuh di hari Badar ? jawabannya itu tidak menjadi udzur…karena mereka pada awalnya tidak di udzur saat muqim bersama kuffar, sehingga setelah itu mereka tidak diudzur dengan sebab ikrah, karena merekalah sebab dalam hal itu, dimana mereka muqim bersama bersama mereka dan meninggalkan hijrah) selesai.
Maka orang yang berakal hendaklah mengamati hal ini,dan memahaminya, serta hendaklah dia mengetahui bahwa ia bila mengetahui kelemahan dari dirinya dan bahwa ia tidak akan mampu menampakkan diennya di hadapan orang-orang kafir. Namun sebaliknya ia malah menampakkan tawalli kepada mereka dan ridla terhadap kekafiran, kemusyrikan dan kebatilan mereka, maka dalam keadaan seperti ini tidak halal baginya pergi kepada mereka saat mereka meminta dalam keadaan tidak dipaksa selamanya, kecuali mereka memaksanya sembari menangkapnya, kemudian bila mereka memaksanya setelah itu terhadap sesuatu dari kekafiran dengan paksaan yang syar’yi yang dikenal dikalangan ahlul ilmi dengan batasan dan syaratnya maka inilah yang diudzur . Adapun dia berjalan dan menghampiri fitnah dengan kedua kakinya kemudian dia diajak untuk masuk ke dalamny, terus diapun masuk kedalamnya secara ikhtiyar kemudian beralasan dengan ikrah, padahal di sana tidak ada ikrah, maka hati-hatilah orang seperti ini dari murka Allah, karena Allah tabaraka wa ta’ala setelah melarang muwalah terhadap orang-orang kafir kemudian mengecualikan orang yang jatuh di bawah ikrah terus dia melakukan taqiyyah dari ( kejahatan ) mereka, Dia tabaraka wa ta’ala berfirman :

“Dan Allah memperingatkan kamu terhadap ( siksa ) –Nya. Dan hanya kepada Allah kembali ( mu ),” ( Ali Imran : 28 ).

Kemudian bagi tujuan yang karenanya sang muwahhid dicari dalam hal ini dipertimbangkan pula. Tidak masuk akal bila saudara muwahhid diminta datang untuk hal sepele yang tidak ada penghinaan di dalamnya, tidak ada fitnah dan tidak ada mendengar kekafiran dia lari atau melawan atau hal serupa itu. Dan begitu juga andai ia diminta untuk memberikan kesaksian haq yang di dalamnya diajukan pengajuan kezaliman atau dengannya hak dikembalikan kepada pemiliknya sedang di sana tidak ada kehinaan dan keterjatuhan dalam kekafiran, maka sesungguhnya terkadang wajib hal itu atasnya dalam sebagian keadaan bila masalahnya berkaitan dengan dia sedang tidak ada saksi selain dia atau yang serupa itu. Jadi harus ada rincian dan mempertimbangkan masalah-masalah ini.
Dan begitu juga keadaan orang yang mencari ( Thalib ) dipertimbangkan juga dan bila pembicaraan kita tentang orang-orang kafir dan auliya mereka, maka sesungguhnya diantara kuffar ada orang yang dikenal bahwa ia itu tidak menyukai kezaliman, sebagaimana yang ada tentang sifat Najasyi sedang ia masih nasrani belum masuk islam, dan inilah yang mengundang sahabat tatkala mereka berada di negerinya dan datang dua utusan Quraisy Abdullah ibnu Abi Rabi’ah ibnu Mughirah dan Amru ibnu ‘Ash untuk mengembalikan mereka ke Mekkah, terus An Najasiy meminta mereka datang agar ia melihat keadaan mereka dan apakah ia menyerahkan mereka kepada Quraisy atau membiarkan mereka tinggal di negerinya.
Saya katakan :…Sesungguhnya dinatara hal yang mendorong sahabat untuk memenuhi panggilan An Najjasy dan mendatanginya dengan sikap rela padahal di sana banyak kelapangan dan kesempatan untuk melarikan diri adalah keberadaan mereka memiliki dugaan kuat bahwa ia ( Najjasy ) tidak akan mezalimi mereka. Dan silahkan rujuk dalam khabar mereka dan kisah mereka yang diriwayatkan Ummu Salamah isteri Nabi saw dan dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dengan sanad yang baik 1/201-5/290, dan di dalamnya ada ucapan ja’far ra tentang Quraisy, (…Tatkala mereka memaksa kami dan mendzalimi kami serta bersikap keras terhadap kami dan menghalangi kami dari agama kami maka kami keluar menuju negeri engkau, kami memilih engkau atas selain engkau dan kami menginginkan perlindunganmu dan kami mengharap untuk tidak didzalimi di sisimu wahai raja ).
Seandainya perbuatan mereka ini keliru atau kemungkaran, tentulah Nabi saw tidak mendiamkannya dan tidak mengakuinya, akan tetapi tentu beliau mengingkarinya, sedangkan telah ada dalam sifat beliau saw bahwa beliau itu “ memerintahkan mereka dengan hal yang ma’ruf dan melarang mereka dari hal munkar, beliau menghalalkan bagi mereka thayyibat dan mengharamkan atas mereka khabaits.
Bila hal ini telah jelas, kemudian bila orang yang dicari itu memiliki dugaan kuat bahwa orang kafir yang mencarinya tidak akan mendzaliminya atau memalingkan dari diennya, maka boleh bagi dia memenuhi panggilan dan pergi menghadap mereka karena takut atau khawatir dari pembesaran masalah. Dan hal seperti ini ada di banyak Negara yang mendengung-dengungkan kebebasan, HAM, Demokrasi, dan sistem-sistem kafir masa kini lainnya. Dan ini bukan dukungan atau tahakum kepada falsafah-falsafah, system-sistem dan pemikiran-pemikiran ini, akan tetapi mangambil faidah atau memanfa’atkan dari kondisi-kondisinya yang diterapkan dan ada secara paksa. Dan ini seperti memanfaatkan dari fanatic kesukuan atau marga bila para pengusungnya bangkit untuk membela muwahhid dari kiblah mereka sedangkan kabilah itu di atas kekafiran, maka hal seperti ini : yaitu keberadaan fanatic kesukuan jahiliyyah menolong saudaranya sedangkan kaum suku itu tidak membela aqidahnya tidaklah membahayakan si muwahhid dan tidak mencoreng ketauhidannya, atau dinilai dukungan terhadap jahiliyyah atau tahakum kepadanya !! dengan dalil bahwa Allah tabaraka wa ta’ala berfirman :

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu ,” ( Adh Duha : 6 ).

Yaitu melindungimu dari pamanmu yang kafir. Dan hal serupa adalah keluarga Syuaib yang melindunginya dari orang-orang kafir. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman seraya mengabarkan tentang musuh-musuh Nabi-Nya :
“Kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami,” ( Hud : 91 ).

Dan begitu juga wali Nabiyullah Shalih as yang mana orang-orang kafir khawatir terhadapnya :
“Mereka berkata : Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita sungguh-sungguh akan menyerangnnya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada warisnya ( bahwa ) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar,” ( An Naml : 49 ).

Keberadaan seseorang mengetahui atau memiliki dugaan kuat bahwa orang kafir yang mencarinya diikat dengan batasan undang-undang atau adab atau fanatisme atau kejahiliyyaan yang mencegahnya dari berbuat dzalim dan aniaya terhadapnya, maka hal ini adalah hal yang membolehkan dia untuk pergi menghadap kepadanya bila ia takut fitnah yang lebih besar atau pembengkakan masalah. Dan Allah ta’ala A’lam. Dan meminta pendapat serta istikharah dalam hal ini adalah terpuji.
Berbeda seandainya si muwahhid itu memiliki dugaan kuat bahwa orang kafir itu bakal menyiksanya bila ia datang kepadanya atau menahannya terus memenjarakannya dengan waktu yang lama atau selamanya maka ini adalah haram, karena ia melemparkan dirinya kepada kebinasaan sedangkan Allah ta’ala telah berfirman ‘Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian kepada kebinasaan atau besar dugannya bahwa ia bakal memfitnahnya maka sungguh telah lalu larangan dari menghampiri.
Dan begitu juga bila ia mengetahuui bahwa ia bakal didzalimi maka tidak boleh dia berangkat menuju orang yang mendzaliminya, kecuali bila ia takut kezaliman dan kemungkaran yang lebih besar.
Dan begitu juga bila ia mengetahui bahwa orang kafir itu akan memperdengarkan kepadanya kekafiran, kemusyrikan dan kebatilah, sedangkan si mathlub itu tidak akan mampu menolak dan membantahnya atau idharuddin, maka sungguh Allah tabaraka wa ta’ala telah mengharamkan duduk di sisi orang yang seperti ini keadaannya, maka bagaimana boleh berjalan menghampirinya dengan kedua kakinya secara ikhtiyar, Dia SWT berfirman :
”Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah di ingkari dan di perolok-olok ( oleh orang-orang kafir ), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya ( kalau kamu berbuat demikian ) tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahanam.’’( An-Nisa:140)
Maka dia tidak boleh berangkat dalam keadaan ikhtiyar untuk duduk di majlis orang yang keadaannya seperti ini, sedang dia telah mengetahui dari dirinya bahwa ia tidak mampu melakukan pengingkaran saat itu dan tidak bisa mufaraqah, berbeda halnya andaikata dia mengetahui dari dirinya bahwa ia mampu untuk mengingkari, menampakkan diennya dan keyakinannya, serta aman dari fitnah, pembunuhan dan yang lain yang serupa.
Ini tentang berangkat menghadap kepada orang kafir, adapun bila dia dikepung orang-orang kafir dari setiap sudut dan tidak ada peluang untuk melarikan diri, dan saudara muwahid tidak mengetahui apa yang akan mereka lakukan terhadapnya, maka dia boleh berijtihad sesuai dengan dugaan kuat dia, apa dia menerima ditawan bila dia memperkirakan bahwa ia bisa selamat atau dia melawan sampai selamat atau terbunuh, bila ia menduga atau meiliki dugaan kuat bahwa mereka itu bakal menipunya. Dan disyariatkannya hal ini ditunjukan oleh hadist Abu Hurairah tentang kasus sepuluh orang yang diutus oleh Rasulullah saw yaumarraji’ …kemudian mereka dikepung oleh dua ratus orang yang semuanya mengarahkan panah, kemudian para pengepung itu memberikan janji kepada mereka bahwa mereka tidak akan membunuh seorangpun dari mereka, maka diantara para sahabat ada yang tidak rela menerima jaminan orang kafir karena takut berkhianat terus mereka malah membunuhnya, dan diantara mereka ada yang menerima ditawan, kemudian mereka berkhianat setelah itu, dan diantara mereka itu, Khubaib ra dan dalam khabar itu ada kisah dia. Namun demikian tidak diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau menyalahkan salah seorang dari mereka dalam ijtihadnya karena kondisi adalah kondisi keterkepungan dan tidak ada peluang untuk kabur atau menang melawan. Wallahu a’lam.

Laa Tahzan

Muqaddimah


Segala puji hanya milik Allah Rabbu ‘Alamin. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada khatamul anbiya wal mursalin. Wa Ba’du :
Ketahuilah semoga Allah mebimbing engkau kepada setiap kebaikan bahwa dipenguhujung bulan rajab tahun ini kami dan sebagian ikhwan muwahiddin telah dipanggil menghadap oleh aparat thoghut , terus diantara ikhwan ada yang mereka tangkap dan diantaranya ada yang melarikan diri, maka mereka memberikan pesan di keluarganya yang berisi perintah agar dia datang menghadap mereka. Dan sesungguhnya telah terjadi sedikit perselisihan pendapat di antara para ikhwan yang di cari-cari itu tentang hukum memenuhi panggilan orang-orang kafir itu.
Diantara ikhwan ada yang berpendapat bolehnya memenuhi panggilan orang-orang kafir itu, dan diantara mereka ada yang berpendapat tidak boleh, dan mereka itu terbagi dua kelompok, pertama mengatakan : kita tidak boleh pergi menghadap mereka dengan keinginan kita sendiri dan tidak memenuhi permintaan dan perintah mereka kecuali bila kita mengetahui jelas bahwa masalahnya tidak ada fitnah di dalamnya atau kita diciduk dalam kondisi dipaksa. Kelompok yang kedua mengatakan : kita tidak memenuhi panggilan mereka selamanya, dan andaikata mereka menggerebeg kita maka kita melawan hingga selamat atau kita terbunuh.
Maka saya ingin – sebagai bentuk kepdulian yang sangat terhadap ikhwan saya – menuntaskan masalah ini dengan dalil syar’iy agar al haq di dalamnya nampak bagi saya dan bagi ikhwan. Maka saya katakan seraya memohon taufik dan pelurusan dari Allah Sang Pelindung.

Tentang Penjelasan Disyariatkannya Dan Dibolehkannya Lari Dari
Orang-orang Kafir Serta Bersembunyi Dari Mereka Saat
Ketertindasan

Al Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya pada Kitabul Iman ( Bab : Minad Dieni Al Firar Minal Fitani ) dari Abu Said Al Khudriy bahwa ia berkata :
“Hampir terjadi dimana sebaik-baiknya harta orang muslim adalah kambing- kambing yang dia giring di lereng-lereng gunung dan tempat-tempat turun hujan, dia melarikan diri dengan agamanya dari fitnah “.

Dan dalam Kitab Al Fitan beliau meriwayatkan juga ( Bab : Akan terjadi fitnah di mana orang yang duduk di dalamnya lebih baik dari pada yang berdiri, dan yang berdiri di dalamnya lebih baik dari pada yang berjalan, dan yang berjalan di dalamnya lebih baik dari pada yang berlari kecil, siapa yang menghampirinya maka fitnah itu menguasainya, maka siapa yang mendapatkan tempat pelarian atau tempat berlindung maka berlindunglah dengannya”).

Di dalam hadits-hadits ini terdapat faidah yang agung lagi besar yaitu disyariatkannya lari dari fitnah dan tidak berjalan atau menghampirinya. Dan faidah lain di dalamnya bahwa hal itu tergolong dien dan iman, dan bukan tergolong sikap penakut dan pengecut sebagaimana yang diduga oleh banyak orang. Bagaimana mungkin lari dari fitnah menyembunyikan diri darinya termasuk sikap penakut dan pengecut, sedangkan ia adalah dienul anbiya di masa istidl’af ( ketertindasan ).
Ini buktinya, khatamul anbiya wal mursalin ( Rasulullah saw ) setelah beliau mengumumkan dan menjaharkan dakwahnya serta menampakkan kekafiran dan bara’ahnya dari orang-orang kafir dan tuhan-tuhan mereka yang bathil, beliau dan sekelompok dari sahabatnya menyembunyikan diri sementara waktu, setelah orang-orang kafir menekan mereka dan menyakiti sebagian mereka. Dan dalam Al Bukhari ada kisah keislaman Abu Dzar dalam beritanya bersama Ali dan jalan menyampaikannya kepada Nabi saw dan apa yang menunjukan kepada hal ini.
Dan diantara hal itu apa yang diriwayatkan Al Imam Ahmad 3/322-329 di dalam musnad beliau dan yang lainnya dari Jabir tentang kejadian bai’at Aqabah dan di dalam teksnya ada ( sehingga tidak tersisa satupun dari rumah-rumah Al Anshar melainkan di dalamnya ada beberapa orang dari kaum muslimin yang menampakkan Al Islam ) : kemudian mereka bersepakat seluruhnya, dan kami menyatakan : ( sampai kapan kita membiarkan Rasulullah saw diusir di gunung-gunung Mekah dan dalam kondisi takut ? ) maka berangkatlah menuju beliau dari kami tujuh puluh orang, mereka mendatanginya dalam musim ( haji ), terus kami janjian dengan beliau ( untuk kumpul ) di lembah Aqabah, maka kami kumpul-kumpul kepada beliau dengan cara datang satu-satu dan dua-dua sAmpai akhirnya jumlah kami lengkap…hingga akhir hadits ).
Dan dalam Al Bukhari dari Abdullah ibnu Mas’ud berkata : ( Tatkala kami bersama Nabi saw di suatu goa, tiba-tiba turun kepada beliau ‘Wal Mursalaat’ maka sungguh beliau membacanya dan sesungguhnya saya talaqqi hal itu dari mulut beliau, dan sesungguhnya mulut beliau basah dengannya, tiba-tiba seekor ular menyambar kearah kami, maka Nabi saw bekata : “bunuhla ia” maka kamipun mengejarnya dan diapun pergi maka Nabi saw berkata : Dia dilindungi dari perlakuan buruk kalian sebagaimana kalian dilindungi dari kejahatannya ). Dan hal-hal semacam ini adalah banyak.
Dan Allah tabaraka wa ta’ala telah berfirman :
“Jika kamu tidak menolongnya ( Muhammad ) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya ( yaitu ) ketika orang-orang kafir mengeluarkannya ( dari Mekkah ) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya : ‘janganlah kamu berduka cita sesungguhnya Allah beserta kita. “Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada ( Muhammad ) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan tentara orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan nikmat Allah itulah yang tinggi, Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana,” ( At-Taubah : 40 ).

Dan dalam berita hijrah ada pelajaran dalam hal itu. Dan ini Nabiyullah Musa -semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepadanya dan kepada nabi kita - Allah tabaraka wa ta’ala berfirman :
“Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata :…Hai Musa sesungguhya pembesar negeri berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu, keluarlah ( dari kota ini ) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu,"
( Al Qashash : 20 ).


“Maka Musa keluar dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berkata : Ya Tuhanku selamatkanlah aku dari orang-orang dzalim itu,” ( Al Qashash : 21 ).

Bila ada yang mengatakan :…Itu kan terjadi sebelum ia menjadi Nabi ? maka kami katakan :…Musa as tidak mengingkari hal itu setelah kenabiannya, bahkan ia mengiakan dan membenarkannya sebagaimana yang Allah ta’ala khabarkan tentangnya :
“Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang diantara rasul-rasul,” ( Asy Syu’ara : 21 ).

Dan Allah ta’ala berfirman tentangnya setelah itu :
“Dan kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya :…Ambillah olehmu berdua beberapa rumah di mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah olehmu shalat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman,” ( Yunus : 87 ).

Dalam hal itu ada sikap mereka sembunyi-sembunyi dan shalat di rumah mereka, dan seputar ayat ini Syayid Quthub memiliki ungkapan yang indah yang bisa dirujuk dalam Adh – Dhilal ( hal. 1016 ).
Dan para pemuda Ashhabul Kahfi setelah mereka menampakkan ketauhidannya dan mereka diancam dan diteror oleh kaumnya maka mereka berlindung ke goa, sebagaimana yang telah Allah khabarkan :


“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu,” ( Al Kahfi : 16 ).

Dan Allah swt berfirman tentang mereka :
“Berkata ( yang lain lagi ) :…Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kami berada ( di sini ). Maka surulah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia melihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun. Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melemparmu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya,” ( Al Kahfi : 19-20 ).

Dan begitulah, selain mereka dari kalangan orang-orang saleh saat mereka pada kondisi istidl’af, seandainya engkau menelusuri khabar-khabar tabi’in dari kalangan salaf umat ini tentulah engkau mendapatkan contoh-contoh yang banyak dari hal itu.
Dan untuk contoh saya cukupkan dengan tiga orang yang dikatakan Ibnu Jauziy tentang mereka dalam muqaddimah kitabnya “Manaqib Al Imam Ahmad ibnu Hambal“ :…( Namun sesungguhnya saya meneliti tentang orang-orang yang meraih tingkat kesempurnaan dalam dua hal itu, yaitu – ilmu dan amal – dari kalangan At Tabi’in dan yang sesudahnya, ternyata saya tidak mendapatkan orang yang sempurna dua hal itu padanya pada level puncak yang macam kesempurnaannya tidak tercoreng oleh suatu kekurangan, selain tiga orang : Al Hasan Bashri, Sufyan Ats Tsauri dan Ahmad ibnu Hambali ). Hal : 5.
Adapun Al Hasan Bashri, maka beliau telah keluar, dan ada yang mengatakan beliau dikeluarkan bersama orang-orang yang khuruj terhadap Al Hajjaj zaman fitnah Abdirrahman ibnu Asy’ats , di mana ibnu Asy’ats khuruj dan khuruj bersamanya sekelompok dari kalangan qurra’ dan fuqaha sebagai bentuk pemberontakan dan kedurjanaan Al Hajjaj. Dan setelah kekalahan ibnu Asy’ats, Al Hasan Al Bashriy tetap menyembunyikan diri dari Al Hajjaj sampai-sampai saat puteri beliau meninggal dunia, ia tidak bisa mendatanginya, terus ia mewakilkan hal itu kepada ibnu Sirrin .
Adapun Sofyan ATs Tsauri, maka beliau melrikan diri ke Bashrah tatkala Al Khalifah Al Mahdiy menawarkan jawatan kepadanya, dan beliaulah orang yang berkata :
( Bukan penghinaan mereka yang saya takutkan namun justeru pemuliaan mereka saya takutkan, sehingga saya tidak memandang keburukan mereka sebagai keburukan, saya tidak melihat bagi penguasa suatu perumpamaan kecuali perumpamaan lewat lisan musang, berkata, saya mengetahui anjing itu meiliki tujuh puluh sekian tipu muslihat yang tidak ada darinya suatu tipu muslihatpun yang lebih baik dari keberadaan saya tidak melihat anjing dan anjingpun tidak melihat saya ) .
Adapun AL Iman Ahmad, maka sungguh beliau telah bersembunyi pada masa-masa Al Watsiq, dan itu setelah beliau menjaharkan keyakinannya tentang Al Qur’an dan dalam hal ini beliau mendapatkan ujian yang sangat besar, maka beliu bersembunyi disisa hidup Al Watsiq, beliau selalu berpindah-pindah pada banyak tempat, kemudian beliau kembali ke rumahnya setelah beberapa bulan, dan di dalamnya beliau bersembunyi sampai Al Watsiq meninggal dunia. Ibrahim ibnu Hani berkata : Ahmad ibnu Hambal bersembunyi di rumah saya selama tiga hari, kemudian berkata : carikan tempat buat saya supaya saya pindah ke sana, “saya berkata” : saya khawatir keamananmu wahai Abu Abdullah. Maka “beliau berkata” : lakukanlah ! bila kau sudah melakukannya saya akan memberimu faidah ilmu, dan saya pun mencarikan tempat untuk beliau, kemudian tatkala beliau keluar beliau berkata kepada saya : Rasulullah saw bersembunyi di goa tiga hari terus beliau berpindah, tidak selayaknya Rasulullah saw diikuti dalam kondisi lapang dan ditinggalkan pada kondisi sulit. Selesai
Dalam satu riwayat Habar tentang perihal sikap bersembunyi Al Imam Ahmad di masa Al Watsiq hidup, berkata : ( Abu Abdullah terus bersembunyi ditempat yang dekat, kemudian dia kebali kerumahnya setelah beberapa bulan atau setahun tatkala sudah reda beritanya, dan beliau masih terus berada di rumah bersembnyi lagi tidak keluar untuk shalat dan yang lainnya sampai Al Watsiq mati ).
Bila seorang menjaharkan dakwahnya sesuai tuntunan para nabi, di mana dia berlepas diri ( bara ) dari syirik dan kaum musyrikin, kemudian kaum kuffar mencarinya dalam kondisi stidl’af serta kurangnya anshar dan daya maka bukanlah hal aib bila ia lari dari mereka atau bersembunyi, karena ini adalah tergolong keadaan para Nabi dan orang-orang saleh serta metode mereka saat istidl’af sebagaimana yang engkau lihat.

Senin, 11 Mei 2009

Jangan Bersedih

Temulawak dari Empiris sampai Uji Klinis
Indonesia sebagai negara tropis yang dikenal dengan the second mega biodiversity, dibanjiri oleh tanaman yang diketahui secara empiris atau penelitian berkhasiat obat. Salah satunya adalah temulawak yang termasuk dalam keluarga jahe (zingiberaceae). Temulawak (Curcuma xanthorhiza roxb) merupakan tanaman obat asli Indonesia. Meski demikian, penyebaran tanaman yang kondang dengan sebutan curcuma javanica ini, hanya terbatas di pulau Jawa, Maluku, dan Kalimantan. Temulawak tumbuh sebagai semak tak berbatang. Mulai dari pangkalnya sudah memunculkan tangkai daun yang panjang berdiri tegak. Tinggi tanaman antara 2 sampai 2,5 meter. Daunnya bundar panjang, mirip daun pisang. Pelepah daunnya saling menutupi membentuk batang.
Tumbuhan yang patinya mudah dicerna ini dapat tumbuh baik di dataran rendah hingga ketinggian 750 meter di atas permukaan laut. Temulawak dapat dipanen setelah berusia 8-12 bulan, saat daunnya telah menguning dan kelihatan hampir mati. Umbi akan muncul dari pangkal batang, warnanya kuning tua atau coklat muda, panjangnya sampai 15 sentimeter dan berdiameter 6 sentimeter. Baunya harum dan rasanya pahit agak pedas.
Manfaat temulawak untuk kesehatan, sebenarnya telah lama diketahui secara empiris dan pengalaman turun-menurun dari nenek moyang. Sejak dulu temulawak digunakan sebagai obat penurun panas, merangsang nafsu makan, mengobati sakit kuning, diare, mag, perut kembung, dan pegal-pegal. Terakhir juga diketahui temulawak bisa menurunkan lemak darah, menghambat penggumpalan darah sebagai antioksidan, dan memelihara kesehatan dengan meningkatkan daya imun. Beberapa manfaat tersebut kemudian akhirnya terbukti secara klinis. Melihat manfaat temulawak yang se-abrek ini, tak ayal lagi pemerintah mencanangkan ”gerakan nasional minum temulawak” sejak 2 tahun silam.

Bantu Hati Hantam Toksin
Daging buah (rimpang) temulawak mengandung beberapa senyawa kimia, antara lain minyak atsiri fellandrean dan turmerol, kamfer, glukosida, foluymetik karbinol, dan kurkumin. Kurkumin diketahui sebagai kandungan yang banyak memberi manfaat, terutama sebagai anti hepototoksik dan antioksidan.
Bagaimana mekanisme kurkumin sebenarnya dalam menyelamatkan “lambang romantisme” ini masih belum jelas. Namun sebuah studi pada hewan percobaan melaporkan, kurkumin secara kuat menghambat enzim cytochrome 4501A1/1A2 di hati. Enzim ini merupakan isoenzim yang terlibat dalam bioaktivasi beberapa toksin termasuk benzo[a]pyrene. Kurkumin ditemukan juga mencegah pembentukan ikatan kovalen antara cytochrome P450 dan DNA. Dan, peneliti menyimpulkan bahwa kurkumin bisa saja menghambat karsinogenesis oleh kimiawi dengan memodulasi fungsi P450.
Selain itu, kurkumin ditemukan juga menawarkan proteksi hati terhadap toksisitas alkohol. Efek ini terbukti pada sebuah studi yang dilakukan pada tikus yang diinduksi dengan etanol 25%. Tikus yang memperoleh kurkumin 80 mg/kg BB mengalami penurunan kadar enzim hati dan produk reaktif asam tiobarbiturat. Di samping itu, sebuah studi lainnya juga menunjukkan, kurkumin menurunkan kerusakan hati melalui pengurangan peroksidasi lipid. Hal ini diamati pada tikus yang hatinya telah diinduksi dengan zat besi. Masih berdasarkan studi pra klinis, kurkumin dilaporkan juga meningkatkan aktifitas glutathione-S-transferase. Enzim ini sangat penting dalam proses detoksifikasi.
Uji Klinis Kurkumin
Sebuah uji klinis yang tidak begitu besar telah dilakukan di Tanah Air untuk melihat manfaat kurkumin dalam memperbaiki fungsi hati. Studi ini melibatkan sekitar 38 pasien gangguan hati atau memiliki nilai SGPT dan SGOT di atas normal dari 5 area (Bogor, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, Palembang dan Jakarta). Pasien diberikan gabungan kurkumin 25 mg, essential phospholipid 100 mg, dan vitamin E 100 mg. Studi ini menggunakan metoda seeding trial atau tanpa pembanding. Pengamatan dilakukan oleh sekitar 20 peneliti dalam periode Juli-Desember 1998.
Adapun parameter yang digunakan adalah nilai SGPT dan SGOT. SGPT merupakan enzim yang diproduksi oleh hepatocytes, jenis sel yang banyak terdapat di liver. Kadar SGPT dalam darah akan meningkat seiring dengan kerusakan pada sel hepatocytes yang bisa terjadi karena infeksi virus hepatitis, alkohol, obat-obat yang menginduksi terjadinya kerusakan hepatocytes, dan sebab lain seperti adanya shok atau keracunan obat.
Nilai SGPT yang dianggap normal adalah 0 – 35 unit per liter (u/l). Peningkatan nilai SGPT 50 kali dari normal menandakan rendahnya aliran darah pada hati, hepatitis, atau kerusakan sel hati yang disebabkan oleh obat/senyawa kimia seperti CCl4. Peningkatan nilai SGPT ringan sampai sedang dapat disebabkan oleh adanya hepatitis, sirosis, kanker pada hati dan alkohol. Terkadang pada sirosis hanya terjadi peningkatan nilai SGPT 2-4 kali dari nilai normal.
Sementara SGOT banyak dijumpai pada organ jantung, hati, otot rangka, pankreas, paru-paru, sel darah merah dan sel otak. Saat sel organ tersebut mengalami kerusakan, maka SGOT akan dilepaskan dalam darah. Alhasil saat pengukuran akan terlihat korelasi besarnya atau tingkat keparahan sel yang terjadi. Nilai normal SGOT berkisar dari 3 - 45 unit per liter (u/l). Peningkatan nilai SGOT ini dapat disebabkan oleh adanya hepatitis C. Pada hepatitis akut, peningkatan bisa terjadi hingga 20 kali nilai normalnya.
Hasil studi menunjukkan, berdasarkan perhitungan statistik, terjadi penurunan nilai SGOT dan SGPT yang signifikan. Setelah 14 hari terapi, penurunan nilai SGOT dari total pasien mencapai hingga 2,89 kali, sedangkan untuk SGPT mencapai 3,28 kali dibandingkan sebelum pengobatan. Hasil yang tidak berbeda jauh juga ditemukan pada individu yang menderita hepatitis dan non hepatitis. Pasien hepatitis mengalami penurunan SGOT sebanyak 3,48 kali dan SGPT sebanyak 3,82 kali, dibandingkan sebelum pengobatan. Sedang pada individu non hepatitis, terjadi penurunan SGOT sekitar 1,91 kali dan SGPT sebanyak 2,15 kali.
Menggali Manfaat Lain
Hingga kini, telah banyak studi yang dilakukan untuk mencoba mereguk manfaat lain dari umbi berharga ini. Studi yang tengah gencar dilakukan adalah untuk melihat manfaat kurkumin sebagai antitumor guna mengobati penyakit kanker. Sejumlah laporan menunjukkan, kurkumoid termasuk kurkumin memiliki aktivitas kemopreventif dan kuratif melawan kanker. Studi tersebut umumnya dilakukan pada hewan percobaan dengan rute pemberian berbeda dan diuji dengan sistem in vitro. Namun sedikit studi juga telah mulai dilakukan belakangan ini pada manusia.
Manfaat lain yang juga tengah diincar dari kurkumin adalah penghambatan replikasi human immunodeficiency virus (HIV). Sebuah studi menunjukkan, kurkumin menghambat tahap fusion sel virus pada siklus replikasi HIV. Berbagai studi terus dilakukan untuk mencari titik terang. Jika semua terbukti secara klinis, maka tanaman yang mengandung kurkumin akan semakin kaya manfaat. Dan Indonesia tentu akan turut berbahagia, karena tanaman itu adalah asli dari Bumi Pertiwi.